Teori kedaulatan rakyat berpandangan bahwa
rakyatlah menjadi raja sebagai penentu kebijakan publik (public policy).
Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh sistem demokrasi. Demokrasi sendiri berasal
dari kata Demos = rakyat dan Cratein = pemerintahan. John Lock sebagai pencetus
kedaulatan rakyat sangat mengidam-idamkan terwujudkan kedaulatan rakyat. Dia
menggambarkan bahwa terbentuknya sebuah negara berdasarkan kontrak sosial yang
terbagi atas dua bagian yaitu factum unionis (perjanjian antar rakyat) dan
factum subjectionis (perjanjian antara rakyat dengan pemerintah). Hal inilah
yang mendasari teori liberalisme
Konstitusi RI yaitu UUD 1945 telah menyebutkan
dalam Pembukaan UUD 1945: “… susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan Rakyat…” selanjutnya pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaualtan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” .
Pernyataan di atas dengan tegas Indonesia menganut
kedaulatan rakyat. Salah satu pelaksanaan dari kedaulatan rakyat adalah
pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu tahun 2004
terakhir kali merupakan pemilu yang baru dilasanakan berbeda dari pemilu
sebelumnya. Pemilu 2004 memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kejadian
ini merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Kedaulatan Rakyat
Dalam
isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau.
Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa
manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada
dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat
dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat
pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam
masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena
dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia
menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan
dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut
Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang
mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan.
Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat
sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada
rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham
kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas
untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada
golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin
dirinya sendiri.
Akan
tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah
rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya
kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau
menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh
kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka
kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan.
Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu
bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan
kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara
dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak
ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat
sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang
diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan
keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka
tak perlu ada undang-undang dasar atau
konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan
demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan
rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan
suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan.
Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan,
itulah kehendak umum.
Untuk
memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang
harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di
satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan
bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam
perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua
kelemahan, sebagaimana disebutkan
oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata.
Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan.
Kedua, tidak adanya
pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan
kekuasaan negara
Kedua
kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana
terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas
dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi
melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak
murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah
menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan
kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara
sederhana dianggap sebagai kehendak di luar
"kehendak murni" rakyat.
Perkembangan
tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap
kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam
suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer
(Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner
kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran
Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu
moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau
demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan
penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat
diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
Aplikasi
Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia
telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi
negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi
tersebut, akibat banyaknya kompromi yang
harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu,
menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan
tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang
turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan
jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan
nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat
untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah
konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala
ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Teori
kedaulatan rakyat berpandang bahwa kekuasaan tertinggi di suatu Negara ada pada
rakyat, bukan Tuhan, Raja, ataupun Negara. Rakyat adalah sumber kekuasaan
negara. Penguasa atau penyelenggara negara hanyalah pelaksana dari pada apa
yang diputuskan atau dikehendaki rakyat. Munculnya teori kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi atas
kedaulatan Tuhan, raja, dan Negara.
Teori ini mengajarkan bahwa pemilik
sah kedaulatan adalah rakyat. Dari sini muncul istilah demokrasi. Dalam prinsip
negara demokrasi atau kedaulatan rakyat ini, kekuasaan perlu dibatasi. Kemudian
muncul ajaran Trias Politika yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam
tiga lembaga. Ketiga lembaga itu, adalah :
- Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan undang – undang.
- Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang – undang.
- Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.