Bladsye

Translate

2013/03/22

Teori Kedaulatan Rakyat


Teori kedaulatan rakyat berpandangan bahwa rakyatlah menjadi raja sebagai penentu kebijakan publik (public policy). Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh sistem demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari kata Demos = rakyat dan Cratein = pemerintahan. John Lock sebagai pencetus kedaulatan rakyat sangat mengidam-idamkan terwujudkan kedaulatan rakyat. Dia menggambarkan bahwa terbentuknya sebuah negara berdasarkan kontrak sosial yang terbagi atas dua bagian yaitu factum unionis (perjanjian antar rakyat) dan factum subjectionis (perjanjian antara rakyat dengan pemerintah). Hal inilah yang mendasari teori liberalisme
Konstitusi RI yaitu UUD 1945 telah menyebutkan dalam Pembukaan UUD 1945: “… susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat…” selanjutnya pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaualtan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” .
Pernyataan di atas dengan tegas Indonesia menganut kedaulatan rakyat. Salah satu pelaksanaan dari kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu tahun 2004 terakhir kali merupakan pemilu yang baru dilasanakan berbeda dari pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kejadian ini merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Kedaulatan Rakyat
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.

Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.

Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
Aplikasi Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Teori kedaulatan rakyat berpandang bahwa kekuasaan tertinggi di suatu Negara ada pada rakyat, bukan Tuhan, Raja, ataupun Negara. Rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Penguasa atau penyelenggara negara hanyalah pelaksana dari pada apa yang diputuskan atau dikehendaki rakyat. Munculnya teori kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi atas kedaulatan Tuhan, raja, dan Negara.
Teori ini mengajarkan bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat. Dari sini muncul istilah demokrasi. Dalam prinsip negara demokrasi atau kedaulatan rakyat ini, kekuasaan perlu dibatasi. Kemudian muncul ajaran Trias Politika yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga lembaga. Ketiga lembaga itu, adalah :
  • Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan undang – undang.
  • Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang – undang.
  • Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.

Ijtihad tidak dapat dihapus dengan Ijtihad lain


A.    Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa , kata ijtihad berasal dari  bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata yajtahid, ijtihad artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu :[1] “pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam penerapan hukum.”
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama diatas maka ijtihad itu terbagi 2:
1.      Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada suatu masa dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu masih dianggap cukup untuk menjawab masalah hukum di kalangan umat Islam. namun menurut ulama Hambali, ijtihad bentuk pertama ini tidak boleh vakum sepanjang masa karena mujtahid semacam ini selalu dibutuhkan karena banyak masalah yang harus dijawab hukumnya.
2.      Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada di setiap masa. Tugas utama Mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu. Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-manath.

B.     Dasar Ijtihad
Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum Islam. dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun secara jelas.
a.       Surat an-Nisa ayat 105:
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran , supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
b.      Surat an-Nisa ayat 59:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,  taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

C.    Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirimuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
a.       Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk mencarinya ketika dibutuhkan
b.      Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Menurut ibn Arabi(w. 543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yajng terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain
c.       Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan hadis) yang tidak berlaku lagi.
d.      Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
e.       Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f.       Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur’an dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
g.      Mengetahui ilmu ushul fiqg, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh.
h.      Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah.[2]







D.    Tingkatan Mujathid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a.       Mujtahid fi al-syar’i, disebut mustaqil. Ialah orang yang membangun suartu mazhab seperti Imam Mujtahid yang empat yaitu Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
b.      Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah.
c.       Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazali dalam mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali
d.      Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf san mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij.

E.     Lapangan Ijtihad
Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis. Dengan catatan bahwa nas tersebut masih berssifat zhan bukan qat’i. Atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada nas. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti seperti mengeluarkan hukum wajib puasa, shalat, zakat dan Haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah yang sudah ada nasnya secara qat’i serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah ( shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud(hukuman bagi pencuri, pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas, dan sebagainya) dan ayat yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum perdagangan, riba, emnggauli istri, dan etika kepada orang tua. Ayat-ayat ini di atas bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’i, yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum musik dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam sholat shubuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi plastik, alat kontrasepsi, bedah mayat, dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada 2 macam:
a.       Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan
b.      Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan ijtihad. Pertama, hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil ijytihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad pertama..Kedua, tidaklah ijtihad di antara ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya, Ketiga, membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah memutuskan suatu masalah tetapi Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu hingga Umar menghukuminya berbeda. Sikap umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar. Contoh lain , pada zaman Nabi ada 2 orang dalam perjalanan. Maka ketika itu masuklah waktu sholat dan di sekitar itu tidak ditemukan air. Maka keduanya sholat dengan bertayamum. Kemudian setelah sholat mereka meneruskan perjalanan, sampai sebuah perkampungan keduanya menemukan air dan waktu sholat dzuhur masih ada. Kemudian salah satu dari sahabat itu berijtihad dengan berwudhu dan mengulangi sholat sedangkan sahabat yang satu tidak mengulanginya.
F.     Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
a.       Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya dikarenakana adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan kumur-kumur.
b.      Maslahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada asas menarik manfaat dan menghindari mudharat, contoh mencatat pernikahan.
c.       Istihsan, adalah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir
d.      Istihshab, adalah melangsungkan berlakunya ketetentuan hukum yang ada sampai ada ketetntuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
e.       Urf, adalah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada 2 macam urf. Pertama urf shahih, yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan dari urf shahih, contohnya kebiasaan meninggalkan sholat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan dan sebagainya.[4]




G.    Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
a.       Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihad wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan ijtihad lain.
b.      Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
c.       Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum pernah terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi(fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
d.      Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua berijitihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[5]













KESIMPULAN

Menurut bahasa , kata ijtihad berasal dari  bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata yajtahid, ijtihad artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Surat an-Nisa ayat 105:
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran , supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Surat an-Nisa ayat 59:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,  taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada 2 macam:
a.       Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan
b.      Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.







DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh. Damaskus: Daar al- fikr, 1958

Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus:Daar al-Fikr,1986

Ibrahim Husen,dkk., Ijtihad dalam sorotan, Bandung:Mizan,1996

Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: 2009

Drs. Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana,2011







[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Daar al- fikr)
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus:Daar al-Fikr,1986)
[3] Ibrahim Husen,dkk., Ijtihad dalam sorotan, (Bandung:Mizan,1996)
[4] Drs. Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana,2011
[5] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: 2009)