A.
Pengertian kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang
memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat.
Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan
Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir
umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.[1]
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan
segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik
segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا
بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Kepunyaan
Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan
apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Sedangkan
manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan
memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا
جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
"Berimanlah
kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada
hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan
dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam
pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan
bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang
berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah
menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang
mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sehingga
sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah
apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti,
kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada
ketentuan-ketentuan shara' yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijma'
sahabat dan al-Qiyas.
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah
menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan,
tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan
kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan
hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah
ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid
al-'ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
•
kepemilikan (al-milkiyyah),
•
mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
•
distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).
Istilah
milik berasal dari bahasa arab yaitu milk, yang artinya milik. Menurut Hasby
as-shiddieqy, dalam arti bahasa adalah memiliki sesuatu dan sanggup bertindak
secara bebas terhadapnya.
Menurut istilah, milik dapat didefinisikan, suatu
ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syari’at, yang membenarkan pemilik
ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada
penghalang.
Kata
penghalang dalam definisi diatas maksudnya adalah sesuatu yang mencegah orang
yang bukan pemilikan sesuatu barang untuk mempergunakan/ memnfaatkan dan
bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemiliknya. Sedangkan
pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan yang mencegah pemilik untuk
bertindak terhadap harta miliknya.[2]
B.
KONSEP ISLAM TENTANG HAK MILIK
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT. Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang
sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta.
Allah lah
yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah
dan khalifah. Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah,
manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau
pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya
sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia
mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa
menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan
Allah SWT.
Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain
yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan. Dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru
setelah itu adalah Hak. Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki
kewajiban tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban
tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu. Islam sangat
peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini. Kita diharuskan untuk mencari
harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak
menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras
membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa balasan yang
setimpal.
Dalam
kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi. Islam
mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu
diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzalimi
dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau
pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita.(Qs
:Adzariyaat : 19, dan Qs. Al-Israa : 26).
C.
DEFINISI HAK MILIK
1. Konsep
Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
2. Para
Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan
kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan
membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan
syariah”.
3. Ibn Taimiyah
mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk
menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan
tingkatannya. “ Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga
pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan,
mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi,
sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.[3]
D. JENIS-JENIS
HAK MILIK dalam ISLAM
1. Kepemilikan
umum (milkiyyah ‘ammah)
Pengerian kepemilikan umum sendiri adalah harta yang
telah ditetapkan hak miliknya oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta
tersebut milik bersama. Yusanto berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok
kecil orang dibolehkan mendaya gunakan harta tersebut, akan tetapi mereka
dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk
bersama-sama memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari'
sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh
dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat
memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya,
benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis,
yaitu:
a. Harta
milik umum jenis pertama.
Harta milik umum jenis pertama adalah barang
tambang(sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang
diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah.
Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersma dan dapat dikelola oleh
Negara, atau Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat
terbatas dapat digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah
SAW, membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang tambang yang sudah
ada (sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada saat itu bilal telah meminta
kepada Rosulullah agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya, dan
beliaupun memberikannya kepada bilal dan boleh dimilikinya.
Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang
tambang lainnya yang jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan
untuk diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi. Seseorang boleh
memilikinya seperti halnya juga Negara boleh memberikan barang tambang seperti
itu kepada mereka. Hanya saja mereka membayar khumus (seperlima) dari yang
diproduksinya kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun
banyak.
Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan
(depositnya) tidak terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan umum bagi
seluruh rakyat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang atau beberapa orang.
Tidak boleh diberikan kepada seorang ataupun orang tertentu.
Menurut
al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat
dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak memerlukan usaha yang berat,
seperti garam, dan (batu) celak mata, dengan barang tambang yang terdapat
diperut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas, perak,
besi, tembaga, maupun yang bentuk cair seperti minyak bumi, atau berbentuk gas
seperti gas alam.
Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang
berada dalam perut bumi baik berbentuk cairan maupun padat dan memerlukan
peralatan dan industri. Maka Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi
kebutuhan rakyat, karena tergolong harta milik umum.
Dalil yang
dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah banyak dan
tidak terbatas sebagai bagian dari pemilik umum adalah hadist yang diriwayatkan
dari Abidh bin hamal sl-mazany:
اَنهُ وَفَدَ رَسُولُ اللهِ صلي الله عليهِ وسلم. فستق
طعه المِلح فقطع له,
فلما أن ولى لاقال رجل من المجلس أتدري ما قطعت لهُ؟ انما قطعت لهُ الماء العد.
قال فلنتزعه منهُ.
“Sesungguhnya
dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah, maka beliau
memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki
yang ada dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan)
air yang mengalir” akhirnya beliau bersabda: (kalau begitu) tarik kembali
darinya” (HR abu daud)
Yang perlu diketahui, apabila barang tambang dilakukan
dengan menggunakan alat-alat dan industry yang dimiliki Negara, maka
kepemilikan atas peralatan dan industry tersebut boleh tetap menjadi milik
Negara, namun Negara boleh mengubahnya menjadi milik umum. Dan apabila
eksploitasi barang tambang yang dilakukan Negara menggunakan peralatan dan
industry milik perorangan, maka yang bersangkutan memperoleh upah sebagai ganti
rugi usaha/ atau jasa dan manfaat yang diberikannya, atau alat yang
disewakannya. Namun, yang perlu diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang
atas alat-alat dan industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi
barang tambang yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri.
Dengan
demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak, boleh menggunakan
peralatan dan industry milik Negara dan industri milik individu.
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum
(kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan
tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki
makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang
dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini
memiliki bentuk yang berbeda beda. Misalnya : semua harta milik
masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda
yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat
besar pada masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang
lain diserahkan kepada individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi
milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan
kepentingan umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta
kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
b.
Harta milik umum jenis kedua.
Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum
diperlukan bagi seluruh rakyat yang diperluakan dalam pemenuhan hidup
sehari-hari, yang tidak akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah
telah menjelaskan mengenai sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari hadist
Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء,والكلاء,والنارِ
“kaum Muslim
itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”
Air, padang
rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali diperbolehkan
Rasulullah umtuk seluruh manusia.
Harta ini
tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas, tetapi meliputi setiap benda
yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Mencermati
secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum adalah bahwa seluruh manusia
membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika sarana tersebut hilang
maka manusia kesusahan dalam mencarinya. Setiap alat yang dipergunakan di
dalamnya, karena hukum dan status kepemilikannya sama, yaitu sebagai milik
umum. Demikian juga alat-alat pembangkit listrik yang dibangun diatas air
(sumber) keperluan seperti saluran dan sungai, tiang-tiang penyangganya, dan
alat-alat lain yang diperlukan, sebab alat-alat ini menghasilkan listrik dari
hasil umum, sehingga status hukum alat-alat ini juga sama milik umum. Menurut
Labib, jika alat pembangkit listrik merupakan bagian dari kepemilikan umum maka
tidak boleh dimiliki oleh perseorangan, hal ini disebabkan penguasaan dalam
kepemilikan umum dilarang oleh Negara. Dan begitu juga sebaliknya, dalam artian
jika semua sarana dimilki individu atau perusahaan maka boleh memilikinya
secara pribadi.
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang
di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain
yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga
berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi
air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya,
semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai
milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c.
Harta milik umum jenis ketiga.
Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya
asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi.
Menurut al-Maliki, hak milik umum jenis ini jika berupa sarana umum
seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalil yang mencakup saran umum.
Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang
untuk memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara hajat keperluan
orang banyak(umum).
Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW
menyatakan bahwa manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya mereka berhak
untuk melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/ batu dari jalan umum adalah
sedekah.
Jika kita melihat faktanya, kondisi asal
pembentukannya menghalangi seseorang untuk menghalangi seseorang untuk
menguasai dan memilikinya. Seperti tentang jalan umum yang dibuat untuk seluruh
manusia, dan mereka bebas untuk melewatinya, dan seorang pun tidak boleh
memilikinya. Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/
memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasulullah
SAW bersabda:
الاَّ لله ولرسولهِلاحمىَ
“Tidak ada
penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”
Dengan kata
lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta milik umum kecuali oleh Negara.
Makna hadist tersebut adalah tidak boleh seseorang menguasai sesuatu yang
merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri. Karena api, tiang-tiang
penyangga listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air yang keadaannya
tetap menjadi milik jalan umum, adalah milik jalan umum. tindakan mengambil
alih sebagian jalan umum secara permanen dan mengkhususkan individu
menguasainya secara terus-menerus sama saja dengan pengusaan, kecuali oleh
Negara. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tadi adalah milik umum.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga
tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak
boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu
untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik
umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari
benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan
barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat
dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith
nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang
yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib
membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta
turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan,
air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan
syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi
aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni :
Pertama, Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.
Air, padang
rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah benda-benda yang
bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil
air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga
menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap
individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang dimilikinya
untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan pepohonan.
Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat
dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan bagi
individu lainnya. Sebagaimana setiap individu diperbolehkan memanfaatkan
jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan, kendaraan. Juga
diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan
perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain
yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum,
laut, sungai, dan danau.
Kedua, Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara.
Kekayaan
milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh
setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian,
teknologi tinggi, serta biaya yang besar
seperti
minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak
untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan
dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam
pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi
kemashlahatan umat.
Dalam
mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi
rumah tangga dengan men¬dasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Namun
diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika
dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum
tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari
keuntungan.
Dari hasil
keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian didistribusikan
dengan cara sebagai berikut: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan
dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta
pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi,
eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan
pendapatan harta pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian
bagian zakat untuk keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (dalam QS.
At Taubah: 60).
Kedua,
dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini khalifah
boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk
keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan
semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang
tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah, dijual ke luar
negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri dibagi
keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun
sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti
anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.[4]
E.
Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)
Menurut yusanto, mendefinisikan harta milik Negara
sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara,
dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya.
Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
kepala Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak
memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
Harta milik Negara
- padang pasir
- Tanah endapan sungai
- Ash-shawafi
- Bangunan dan blairung
1.
Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya
Padang
pasir, gunung, lembah, tanah mati yang tak terurus, dan belum pernah ditanami
tanaman atau tudak terurus atau tidak dikelola pengelolanya, maka tanah
tersebut menjadi milik Negara.
انَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم أقطعَ بلال ابن
الحارث المزَني ما بين البحرِ والصخرِ
“bahwa
Rasulullah SAW member bilal bin harits al-Mazani(daerah) antara laut dan padang
pasir”
Hadist ini
menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah, dan tanah mati yang tidak
dimiliki seseorang menjadi milik Negara.
Milik Allah
dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian Rasulullah boleh mengaturnya,
mengatur urusan dan pembagianny, dan izin untuk menghidupkan dan membangunnya.
Dengan keterangan ini, jelas bahwa padang pasir, gunung, dan tanah mati adalah
milik Negara. pemerintah yang mengatur sesuai dengan aturan yang berlaku
dinegaranya sesuai kebaikan dan kemaslakhatan kaum muslim.
2.
Tanah Endapan Sungai
Yang
dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang tertupi air, seperti yang
terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-tanah tersebut tertupi dengan air
Eufrat dan tigris, daerah yang terapit oleh dua sungai itu tergenang oleh air
hingga maenutupi kawasan tersebut sehingga tanah itu tidak layak lagi
untuk pertanian. Dan tanah itu tidak cocok untuk pertanian karena air
menggenangi tanah tersebut, maka tanah itu termasuk tanah mati, tanah itu tetap
menjadi milik baitul mal dan milik negar, selama belum ada yang memiliki.
3.
Asy-Syawafis
Tanah yang
dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negri taklukan dan ditetapkan untuk
baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang ditaklukan yanag dahulunya milik negaara
yang ditaklukan, milik penguasa atau para pemimpin negara itu, tau tanah orang
yang terbunuh dalam medan perang, atau tanh orang yang lari dalam peperangan
dan meninggalkan tanahnya, maka kholifah yang mengatur semua itu untuk kebaikan
dan kemaslakhatan Islam dan kaum muslim.
4.
Bangunan dan Blairung
Yaitu setiap
bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang sebelumnya dipakai untuk
struktur lembaga-lembaga yang dilakukan untuk urusan organisasi-organisasi yang
dan badan-badan pengawas, perguruan tinggi, sekolah-sekolah, rumah sakit, atau
bangunan yang dimiliki negara itu. Termasuk pula pemilik negara adalah setiap
bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari harta baitul mal, lalu
diperuntukkan bagi aparat/ lembaga negara, untuk kepentingan negara dan biro
milik negara dan sarana apapun yang dibangun negara. Selain itu setiap bangunan
atau blairung yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada negara, atau diwasiatkan
kepada negara. Atau yang tida memiliki ahli waris, atau milik orang murtad yang
mati atau dihuku mati karena murtadnya, semua itu milik negara.
Beberapa
harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut
al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya
adalah:
1. Harta
ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir),
fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus.
2. Harta yang
berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang
kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta
yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari
orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah
(pajak)
5. Harta
yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang
yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan
berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau
kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh
orang-orang murtad
8. Harta yang
diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat
tidak sejalan dengan shara'
9. Harta lain
milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang
tidak ada pemiliknya.
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh
pendapatan, sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral
dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn
taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang
(ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan
dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau
kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak
diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan
negara.
Kekayaan
negara secara aktual merupakan kekayaan umum.
Kepala
negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban
negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena
itu, sangat dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah
merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi
kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan
mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.[5]
F.
GARIS PERBEDAAN
Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam
tersebut maka akan nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi
yang lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak
membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas
sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan bebas dalam
ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah mengakibatkan pihak
yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Kita tentu tidak
terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih
besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti
setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil
penelitian Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut
penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara
dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan pendapatan
dari 3 milyar manusia (Triono,2005).Itulah “karya” nyata dari ekonomi
kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat
dibedakan dengan dengan jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu
disebabkan, di dalam sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada
individu-individu untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang
harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan
individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi
sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi
hilang. Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan
kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana
yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem
komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya
selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara
Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara
tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat
dilihat dari adanya kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar
seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah
termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber
daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari
harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu,
bukan milik swasta,apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya
“perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT. Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang
sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta.
Allah lah
yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
Pengerian kepemilikan umum sendiri adalah harta yang
telah ditetapkan hak miliknya oleh
Allah, dan
menjadikan harta tersebut milik bersama. Yusanto berpendapat bahwa seseorang
atau sekelompok kecil orang dibolehkan mendaya gunakan harta tersebut, akan
tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Menurut yusanto, mendefinisikan harta milik Negara
sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara,
dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya.
Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
kepala Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak
memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Afzalur Rahman, “DoktrinEkonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997, Yogyakarta.
A. azhar basyir, garis besar system ekonomi islam, Yogyakarta: BPFE, 1987
Suhrowardi lubis, hukum ekonomi islam,Jakarta: sinar grafika, 2000
Bastian, Indra.,Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Jakarta: Salemba Empat, 2002.
al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, jakarta: pt raja grafindo persada,2007
Sembel, Roy H. M.,"Privatisasi BUMN di Indonesia" dalam Mengembangkan Strategi Ekonomi, ed. Sularso Sopatar et. al., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998.
Ichlasul Amal Rangga Winata,Konsep Kepemilikan Dalam Islam dalam http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
Diah melani, Saturday Reguler Class, Majoring Sharia Accounting., “Menggagas Bisnes Islami” http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11
M.TaufikN.T,“SumberPemasukanNegaradalam Islam”dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/09/sumber-pemasukan-negara-dalam
[1] Afzalur Rahman, “DoktrinEkonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997,
Yogyakarta.
[2] A. azhar basyir, garis besar system ekonomi islam, Yogyakarta: BPFE,
1987
[3] Suhrowardi lubis, hukum ekonomi islam,Jakarta: sinar grafika, 2000
[4] al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam,
jakarta: pt raja grafindo persada,2007
[5]
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
[6] M.TaufikN.T,“SumberPemasukanNegaradalam
Islam”dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/09/sumber-pemasukan-negara-dalam-islam/