Bladsye

Translate

2014/01/06

Kepemilikan Umum dan Negara dalam Ekonomi Islam

A.    Pengertian kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.[1]
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".

Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
"Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."

Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.  Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara' yang tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas.

Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-'ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
•    kepemilikan (al-milkiyyah),
•    mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
•    distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).
Istilah milik berasal dari bahasa arab yaitu milk, yang artinya milik. Menurut Hasby as-shiddieqy, dalam arti bahasa adalah memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.
Menurut istilah, milik dapat didefinisikan, suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syari’at, yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang. 
Kata penghalang dalam definisi diatas maksudnya adalah sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilikan sesuatu barang untuk mempergunakan/ memnfaatkan dan bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemiliknya. Sedangkan pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan yang mencegah pemilik untuk bertindak terhadap harta miliknya.[2]

B.    KONSEP ISLAM TENTANG HAK MILIK
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT. Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah dan khalifah. Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.
Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan. Dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak.  Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu.  Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu.  Islam sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini.  Kita diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain.  Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa balasan yang setimpal.
Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi. Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalan yang halal.  Islam melarang setiap orang menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita.(Qs :Adzariyaat : 19, dan Qs. Al-Israa : 26).

C.    DEFINISI HAK MILIK
1. Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.  Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.  Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).

2. Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut kecuali dengan alasan syariah”.

3. Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “  Misalnya, sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk tujuan yang produktif.  Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.[3]

D.  JENIS-JENIS HAK MILIK dalam ISLAM
1.  Kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah)
Pengerian kepemilikan umum sendiri adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Yusanto berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok kecil orang dibolehkan mendaya gunakan harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:

a. Harta milik umum jenis pertama.
Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang(sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik bersma dan dapat dikelola oleh Negara, atau Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah SAW, membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang tambang yang sudah ada (sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada saat itu bilal telah meminta kepada Rosulullah agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya, dan beliaupun memberikannya kepada bilal dan boleh dimilikinya.
Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya yang jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan untuk diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya seperti halnya juga Negara boleh memberikan barang tambang seperti itu kepada mereka. Hanya saja mereka membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun banyak. 
Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan umum bagi seluruh rakyat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seorang ataupun orang tertentu.
Menurut al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak memerlukan usaha yang berat, seperti garam, dan (batu) celak mata, dengan barang tambang yang terdapat diperut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas, perak, besi, tembaga, maupun yang bentuk cair seperti minyak bumi, atau berbentuk gas seperti gas alam.
Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada dalam perut bumi baik berbentuk cairan maupun padat dan memerlukan peralatan dan industri. Maka Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, karena tergolong harta milik umum.
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilik umum adalah hadist yang diriwayatkan dari Abidh bin hamal sl-mazany:

اَنهُ وَفَدَ رَسُولُ اللهِ صلي الله عليهِ وسلم. فستق طعه المِلح فقطع  له, فلما أن ولى لاقال رجل من المجلس أتدري ما قطعت لهُ؟ انما قطعت لهُ الماء العد. قال فلنتزعه منهُ.
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir” akhirnya beliau bersabda: (kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR abu daud)
Yang perlu diketahui, apabila barang tambang dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan industry yang dimiliki Negara, maka kepemilikan atas peralatan dan industry tersebut boleh tetap menjadi milik Negara, namun Negara boleh mengubahnya menjadi milik umum. Dan apabila eksploitasi barang tambang yang dilakukan Negara menggunakan peralatan dan industry milik perorangan, maka yang bersangkutan memperoleh upah sebagai ganti rugi usaha/ atau jasa dan manfaat yang diberikannya, atau alat yang disewakannya. Namun, yang perlu diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang atas alat-alat dan industri ini bukan  berarti boleh melakukan eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak, boleh menggunakan peralatan dan industry milik Negara dan industri milik individu.
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).  Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis.  Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda beda.  Misalnya : semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada individu.  Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum.    Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.

b.    Harta milik umum jenis kedua.
Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum diperlukan bagi seluruh rakyat yang diperluakan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah telah menjelaskan mengenai sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari hadist Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء,والكلاء,والنارِ
“kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”
Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali diperbolehkan Rasulullah umtuk seluruh manusia.
Harta ini tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas, tetapi meliputi setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Mencermati secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum adalah bahwa seluruh manusia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika sarana tersebut hilang maka manusia kesusahan dalam mencarinya. Setiap alat yang dipergunakan di dalamnya, karena hukum dan status kepemilikannya sama, yaitu sebagai milik umum. Demikian juga alat-alat pembangkit listrik yang dibangun diatas air (sumber) keperluan seperti saluran dan sungai, tiang-tiang penyangganya, dan alat-alat lain yang diperlukan, sebab alat-alat ini menghasilkan listrik dari hasil umum, sehingga status hukum alat-alat ini juga sama milik umum. Menurut Labib, jika alat pembangkit listrik merupakan bagian dari kepemilikan umum maka tidak boleh dimiliki oleh perseorangan, hal ini disebabkan penguasaan dalam kepemilikan umum dilarang oleh Negara. Dan begitu juga sebaliknya, dalam artian jika semua sarana dimilki individu atau perusahaan maka boleh memilikinya secara pribadi.
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.

c.    Harta milik umum jenis ketiga.
Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut al-Maliki, hak  milik umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalil yang mencakup saran umum. Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara hajat keperluan orang banyak(umum).
Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW menyatakan bahwa manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya mereka berhak untuk melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/ batu dari jalan umum adalah sedekah.
Jika kita melihat faktanya, kondisi asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk menghalangi seseorang untuk menguasai dan memilikinya. Seperti tentang jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, dan mereka bebas untuk melewatinya, dan seorang pun tidak boleh memilikinya. Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/ memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua  manusia, karena Rasulullah SAW bersabda:
 الاَّ لله ولرسولهِلاحمىَ
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” 
Dengan kata lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta milik umum kecuali oleh Negara. Makna hadist tersebut adalah tidak boleh seseorang menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri. Karena api, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air yang keadaannya tetap menjadi milik jalan umum, adalah milik jalan umum. tindakan mengambil alih sebagian jalan umum secara permanen dan mengkhususkan individu menguasainya secara terus-menerus sama saja dengan pengusaan, kecuali oleh Negara. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tadi adalah milik umum.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan Tihamah.  Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni :
    Pertama, Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.
Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan bagi individu lainnya. Sebagaimana setiap individu diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan, kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain yaitu seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum, laut, sungai, dan danau.
    Kedua, Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara.
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan men¬dasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial. Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.
Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian didistribusikan dengan cara sebagai berikut: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian bagian zakat untuk keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (dalam QS. At Taubah: 60).
Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini khalifah boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah, dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran belanja untuk jihad fi sabilillah.[4]
E.    Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)
Menurut yusanto, mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
    Harta milik Negara
  • padang pasir
  • Tanah endapan sungai
  • Ash-shawafi
  • Bangunan dan blairung
1.    Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya
Padang pasir, gunung, lembah, tanah mati yang tak terurus, dan belum pernah ditanami tanaman atau tudak terurus atau tidak dikelola pengelolanya, maka tanah tersebut menjadi milik Negara.
انَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم أقطعَ بلال ابن الحارث المزَني ما بين البحرِ والصخرِ
“bahwa Rasulullah SAW member bilal bin harits al-Mazani(daerah) antara laut dan padang pasir”
Hadist ini menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah, dan tanah mati yang tidak dimiliki seseorang menjadi milik Negara.
Milik Allah dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian Rasulullah boleh mengaturnya, mengatur urusan dan pembagianny, dan izin untuk menghidupkan dan membangunnya. Dengan keterangan ini, jelas bahwa padang pasir, gunung, dan tanah mati adalah milik Negara. pemerintah yang mengatur sesuai dengan aturan yang berlaku dinegaranya sesuai kebaikan dan kemaslakhatan kaum muslim.
2.    Tanah Endapan Sungai
Yang dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang tertupi air, seperti yang terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-tanah tersebut tertupi dengan air Eufrat dan tigris, daerah yang terapit oleh dua sungai itu tergenang oleh air hingga maenutupi kawasan tersebut sehingga tanah itu  tidak layak lagi untuk pertanian. Dan tanah itu tidak cocok untuk pertanian karena air menggenangi tanah tersebut, maka tanah itu termasuk tanah mati, tanah itu tetap menjadi milik baitul mal dan milik negar, selama belum ada yang memiliki.
3.    Asy-Syawafis
Tanah yang dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negri taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang ditaklukan yanag dahulunya milik negaara yang ditaklukan, milik penguasa atau para pemimpin negara itu, tau tanah orang yang terbunuh dalam medan perang, atau tanh orang yang lari dalam peperangan dan meninggalkan tanahnya, maka kholifah yang mengatur semua itu untuk kebaikan dan kemaslakhatan Islam dan kaum muslim.  
4.    Bangunan dan Blairung
Yaitu setiap bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang sebelumnya dipakai untuk struktur lembaga-lembaga yang dilakukan untuk urusan organisasi-organisasi yang dan badan-badan pengawas, perguruan tinggi, sekolah-sekolah, rumah sakit, atau bangunan yang dimiliki negara itu. Termasuk pula pemilik negara adalah setiap bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari harta baitul mal, lalu diperuntukkan bagi aparat/ lembaga negara, untuk kepentingan negara dan biro milik negara dan sarana apapun yang dibangun negara. Selain itu setiap bangunan atau blairung yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada negara, atau diwasiatkan kepada negara. Atau yang tida memiliki ahli waris, atau milik orang murtad yang mati atau dihuku mati karena murtadnya, semua itu milik negara.  
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus. 
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya.  Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah).  Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat.  Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah.  Dan merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.[5]

F.    GARIS PERBEDAAN
Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam tersebut maka akan nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi yang lain, baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara bebas sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan bebas dalam ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Kita tentu tidak terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil penelitian Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia, setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan pendapatan dari 3 milyar manusia (Triono,2005).Itulah “karya” nyata dari ekonomi kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan dengan jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu disebabkan, di dalam sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada individu-individu untuk memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi menjadi hilang. Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat. Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat dilihat dari adanya kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan, tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik individu, bukan milik swasta,apalagi milik swata asing sebagaimana fakta terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara berkembang.[6]


BAB III
KESIMPULAN

Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT. Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
Pengerian kepemilikan umum sendiri adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh Allah, dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Yusanto berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok kecil orang dibolehkan mendaya gunakan harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Menurut yusanto, mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
















DAFTAR PUSTAKA

Afzalur Rahman, “DoktrinEkonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997, Yogyakarta.
A. azhar basyir, garis besar system ekonomi islam, Yogyakarta: BPFE, 1987
Suhrowardi lubis, hukum ekonomi islam,Jakarta: sinar grafika, 2000
Bastian, Indra.,Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Jakarta: Salemba Empat, 2002.
al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, jakarta: pt raja grafindo persada,2007
Sembel, Roy H. M.,"Privatisasi BUMN di Indonesia" dalam Mengembangkan Strategi Ekonomi, ed. Sularso Sopatar et. al., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998.
Ichlasul Amal Rangga Winata,Konsep Kepemilikan Dalam Islam dalam http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
Diah melani, Saturday Reguler Class, Majoring Sharia Accounting., “Menggagas Bisnes Islami” http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11
M.TaufikN.T,“SumberPemasukanNegaradalam Islam”dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/09/sumber-pemasukan-negara-dalam



[1] Afzalur Rahman, “DoktrinEkonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997, Yogyakarta.

[2] A. azhar basyir, garis besar system ekonomi islam, Yogyakarta: BPFE, 1987

[3] Suhrowardi lubis, hukum ekonomi islam,Jakarta: sinar grafika, 2000

[4] al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, jakarta: pt raja grafindo persada,2007
[5] http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
[6] M.TaufikN.T,“SumberPemasukanNegaradalam Islam”dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/09/sumber-pemasukan-negara-dalam-islam/

Tarekat

Bab II
Pembahasan
A.  Definisi Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab “tharikah” jamaknya “taraiq” secara etimologis berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah), (2) metode, sistem (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halal), (5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah aththawillah), (6) tiang tempat berteduh, tongkat payung (amud al-mizallah), (7) yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif al-qaum) dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth fi asy-syay).[1]
Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq, kata turunan ini menunnjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum illahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal, pengalam mistik tak mungkin di peroleh bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahuulu dengan seksama.[2] Dengan kata lain tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.[3]
Mengenai pengertian diatas Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, “Tarekat adalah mengamalkan syariat, melaksanakan bebab ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
Sementara itu Harun Nasution, menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata tariqah yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqh kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir masing-masing.[4]
Sejalan dengan ini maka Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat , paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Makananya yang asli merupakan paduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah ta’ifah terkadang lebih disukai untuk organisasi sehingga lebih mudah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi di indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya.[5]
L.Massignon, salah seorang peneliti tasawuf di berapa negara muslim, berkesimpulan bahwa istilah tarekat mempunyai dua pengertian:
pertama, tarekat merupakan pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian, yang disebut al-maqamat dan al- akhwal. Pengertian ini menonjol sekitar abad ke-9 dan ke-10 Masehi.
Kedua, tarekat merupakan perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seorang syekh yang menganut suatu aliran tertentu. Dalam perkumpulan itulah seorang syekh yang menganut suatu tarekat yang dianutnya, lalu mengamalkan aliran aliran tersebut bersama dengan murid-muridnya, pengertian dan definisi ini menonjol ketika abad ke-9 Masehi.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama tarekat berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal, seperti zawiyah, ribatah, atau khanaqah.

B.   Sejarah Timbulnya Tarekat
Menurut Hamka tarekat yang pertama kali muncul adalah tarekat Thaifuriyah pada abad ke-9 Masehi di Persia sebagai suatu lembaga Pengajaran Tasawuf. Tarekat tersebut dinasabkan kepada Abu Yazid al-Busthami karena pahamnya bersumber dari ajaran Abu Yazid, pendapat ini dapat diperkuat dengan kenyataan bahwa tarekat-tarekat yang muncul di Persia terutama daerah Hurazon, pada umumnya menganut paham  Bayazid.[6]
Sejarah islam menunjukan bahwa tarekat-tarekat sejak bermunculan pada abad ke-12 (abad ke-6 H), mengalami perkembangan pesat. Dapat dikatakan bahwa dunia islam sejak abad berikutnya (1317 H),pada umumnya dipengaruhi oleh tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peranan yang cukup besar dalam menjaga eksistensi dan ketahanan umat islam, setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang serbuan tentara Tartar ( kota Bagdad dimusnahkan tentara Tartar itu pada 1258 M atau 656 H). Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara Tartar itu, islam yang diperkirakan akan lenyap, tetapi mampu bertahan, bahkan dapat merembes memasuki hati turunan para penyerbu itu dan memasuki daerah-daerah baru. Pada umumnya sejak kehancuran kota Bagdad para anggota tarekatlah yang berperan dalam penyebaran islam. Tarekat-tarekatlah yang menguasai kehidupan umat islam selama zaman pertengahan sejarah islam (abad ke-13 samapi abad ke-18 atau ke-17 sampai 12 H). Pengaruh tarekat mulai mengalami kemunduran, serangan-serangan terhadap tarekat yang dulunya dipelopori oleh Ibnu Taimiyah (w. 1327 M/ 1728) terdengar semakin gencar dan kuat pada masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu dalam dua abad terakhir ini pada umumnya memandang bahwa salah satu diantara sebab-sebab mundur dan lemahnya umat islam adalah pengaruh tarekat yang buruk, antara lain menumbuhkan sikap taqlid, sikap fatalistis, orientasi yang berlebihan kepada ibadah dan akhirat, dan tidak mementingkan ilmu pengetahuan.



C.   Aliran-aliran Tarekat di Dunia Islam
Dari sekian banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad ke-12 (abad ke-6 H) itu antara lain :
  1. Tarekat Qadiriyah, (dihubungkan kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang wafat di Irak pada 1161 H) yang mempunyai penganut di Irak, Turki, Turbekistan, Sudan, Cina, India, dan Indonesia.
  2. Tarekat Syadziliah, (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Asy-Syadzili, yang wafat di Mesir pada 1258 M), yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Syiria, dan Negri-negri Arab lainnya. Pokok-pokok ajarannya antara lain :
a.       Bertaqwa kepada Allah ditempat sunyi dan ramai
    1. Mengikuti sunnah dalam segala perkataan dan perbuatan
    2. Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dari waktu membelakangi
    3. Kembali kepada Allah diwaktu senang dan susah
3.      Tarekat Rifaiyah, (dihubungkan kepada Syekh Ahmad Ar-Rifai, yang wafat di Mesir pada 1182 M), yang mempunyai pengikut di irak dan di Mesir.
4.      Tarekat Naqsabandiyah (dihubungkan kepada Syekh Bahaudin Naqsabandi yang wafat di Bukhara pada 1389 M), yang mempunyai pengikut di Asia Tenggara, Turki, India, Cina, dan Indonesia. Ciri-ciri  tarekat Naqsabandiah antara lain :

a.       Berpegang teguh kepada aqidah ahlusunnah
      1. Meningggalkan ruqsah
      2. Memilih hokum-hukum yang azimah
      3. Senantiasa dalam muraqabah
      4. Tetap berhadapan dengan Tuhan
      5. Menghasilkan malakah hudhur (menghadirkan Tuhan dalam hati)
      6. Menyendiri ditengah keramaian serta menghiasi diri dengan hal-hal yang memberi faedah
      7. Berpakaian dengan pakaian mukmin biasa
      8. Zikir tanpa suara
      9. Tarekat Syatarriyah, (dihubungkan kepada Syekh Abdullah Asy-Sattari yang wafat di india pada 1236 M), yang mempunyai pengikut India dan Indonesia.
D.  Kriteria Murid untuk Menjalankan Tarekat
Guru dalam tarekat yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syekh, dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut murid. Sedangkan tempatnya disebut ribath atau zawiyah atau taqiyah.
Selain itu tiap tarekat juga memiliki ajaran dan juga amalan wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaanya, tata tertibnya dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara tarekat yang satu dengan tarekat yang lainnya. Menurut ketentuan tarekat pada umumnya bahwa seorang syekh sangat menentukan terhadap muridnya, keberadaan murid di hadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena ini tarekat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka orang yang menjalankan syariat dan si murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama
  2. Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru, dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya
  3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki
  4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien  mungkin dengan segala wirid dan doa guna memantapkan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi
  5. Memegang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.[7]
F.    Tata Cara Pelaksanaan Tarekat
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
  1. Dengan Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati secara menyebutkan namanya dengan liasan, zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah
  2. Ratib, yaitu mengucapkan lapad La Illaha Illallah dengan gaya, gerak dan irama tertentu
  3. Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rebana
  4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan
  5. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu. Selain itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan diatas, perlu mengadakan latihan batin, riadah dan mujahadah (perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula suluk dan yang mengerjakannya di sebut salik.[8]
G.   Tujuan Adanya Tarekat
Tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesutu ibadah sesuai dengan agarna yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabiin secara berantai sampai pada masa kita ini.
Lebih khusus lagi tarekat dikalangan sufiyah berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak dikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dengan dan bersatu secara ruhiyah dengan tuhan. Jalan dalam tarekat itu antara lain terus-menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, Dan terus-menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.
Harun nasution mengatakan tarekat ialah jalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan.[9] Hamka mengatakan bahwa diantara makhluk dan khalik itu ada perjalan hidup yang harus ditempuh, inilah yang kita katakan tarekat.[10]
Dengan memperhatikan berbagai pendapat tersebut diatas, kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tarekat adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi amalan ibadah dan lainnya bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarekat ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.
H.   Pengaruh Tarekat di Dunia Islam
Dalam perkembangannya tarekat-tarekat itu bukan hanya memusatkan perhatian pada tasawuf ajaran-ajaran gurunya, tetapi juga mengikuti kegiatan politik.
Tarekat memengaruhi dunia islam mula abad ke-13 kedudukan tarekat saat itu sama dengan partai politik. Bahkan tentara itu juga menjadi anggota tarekat.
Tarekat keagamaan meluaskan pengaruh dan organisasinya keseluruh pelosok negeri menguasai masyarakat melalui suatu jenjang yang terancang dengan baik, dan memberikan otomomi kedaerahan seluas-luasnya. Setiap desa atau kelompok desa ada wali lokalnya yang didukung dan dimuliakan sepanjang hidupnya, bahkan dipuja dan diagung-agungkan setelah kematiannya. Akan tetapi pada saat-saat itu telah terjadi penyelewengan dalam tarekat-tarekat.
Disamping itu tarekat pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia, tarekat mengandungkan banyak beribadah saja dan jangan mengikuti dunia ini karena anggapan, “dunia ini adalah bangkai maka yang mengejar dunia ini adalah anjing”. Ajaran ini tampaknya menyelewengkan umat islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga sifat tawakal, menunggu apa saja yang akan datang, qadha dan qadar yang sejalan denga faham Asy’ariyah. Para pembaharu dalam dunia islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat islam.
Oleh karena itu pada abad ke-19 timbul pemikiran yang sinis terhadap tarekat. Banyak orang yang menentang dan meninggalkan tarekat ini.




Bab III
KESIMPULAN

Kriteria dalam menjalankan Tarekat harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama, mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru, dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya, tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki, berbuat dan mengisi waktu seefisien  mungkin dengan segala wirid dan doa guna memantapkan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi
Tarekat pada umumnya hanya berorientasi akhirat, tidak mementingkan dunia, tarekat mengandungkan banyak beribadah saja dan jangan mengikuti dunia ini karena anggapan, “dunia ini adalah bangkai maka yang mengejar dunia ini adalah anjing”. Ajaran ini tampaknya menyelewengkan umat islam dari jalan yang harus ditempuhnya. Demikian juga sifat tawakal, menunggu apa saja yang akan datang, qadha dan qadar yang sejalan denga faham Asy’ariyah. Para pembaharu dalam dunia islam melihat bahwa tarekat bukan hanya mencemarkan paham tauhid, tetapi juga membawa kemunduran bagi umat islam.








DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, 1996. Akhlak Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta
Martin Van Bruinessen,  1994. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Mizan : Bandung.
Solihin, M. 2005. Akhlak Tasawuf, Penerbit Nuansa : Bandung
Mustafa Zahri, 1995. Kunci memahai Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu : Jakarta.
Harun Nasution, 1963. Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang : Jakarta
Hamka, 1984. Tasawuf perkembangan  dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas : Jakarta.
http://id.wikipwdia.org/wiki/tarekat




[1] Luis Makluf. 1896. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam. Beirut: Dar Al-Masyrik.
[2] Annemarie Schimel, 1975. Dimensi Mistik dalam Islam. Ter Supadri Djoko Darmono, dkk, dari Mystical Dimension Of Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus
[3] Ensiklopedia Islam Jilid 5, halm, 66
[4] Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II, UI Press : Jakarta
[5] Martin Van Bruinessen,  1994. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Mizan : Bandung.
[6] Solihin, M. 2005. Akhlak Tasawuf, Penerbit Nuansa : Bandung
[7] Nata, Abudin, 1996. Akhlak Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada : Jakarta
[8] Mustafa Zahri, 1995. Kunci memahai Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu : Jakarta.
[9] Harun Nasution, 1963. Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, Bulan Bintang : Jakarta
[10] Hamka, 1984. Tasawuf perkembangan  dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas : Jakarta.