Bladsye

Translate

2014/01/06

Hukum Islam masa Orde Baru

Ada 3 hal yang melatar belakangi lahirnya orde baru diantaranya:
1.      Penumpasan terhadap G-30-S
2.      Munculnya kesatuan aksi
3.      Supersemar[1]
            Lahirnya Orde Baru ditandai dengan dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru merupakan angin segar yang memberi harapan baru bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Hal-hal yang menandai harapan baru itu sebagai berikut :
ü  Tumbangnya PKI sebagai musuh utama organisasi-organisasi Islam yang selalu bekerjasama dengan kelompok sekuler untuk menyingkirkan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia
ü  Pengaruh Soekarno dalam percaturan politik kenegaraan yang selalu menafikan kedudukan hukum Islam dalam konstitusi dan perundang-undangan nasional.
ü  Tampilnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai pendobrak Orde Lama yang di-backing oleh ABRI.
ü  Bersatunya ormas Islam dalam perjuangan untuk mengutuk G30S/PKI & mengusulkan pembubaran PKI dan antek-anteknya.[2]
Dalam situasi seperti itu timbul semangat baru, semacam romantisme kebangkitan gerakan politis Islam. Keinginan lama untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam yang telah gagal, muncul semangat baru untuk memperjuangkan kembali. Keinginan itu lahir karena kelompok umat islam merasa bahwa baik dalam pembentukan negara maupun dalam perjuangan kelahiran Orde Baru, memiliki peranan yang besar.
Untuk mewujudkan keinginan politik itu, umumnya opini politik itu menginginkan rehabilitasi partai politik yang telah diberlakukan pada masa Orde Lama. Keinginan umat Islam untuk merehabilitasi partai politik Islam itu mulai tampak. Misalnya pada saat tasyakuran dalam rangka pembebasan para pemimpin Masyumi dari penjara. Tahun 1967 Moh. Hatta bersama beberapa eksponen HMI dan PII bermaksud mendirikan partai Demokrasi Islam Indonesia. Pada awal Orde Baru beberapa tokoh Muhammadiyah bermaksud mengaktifkan kembalai partai Islam Indonesia.[3]
Keinginan merehabilitasi partai politik Islam & pendirian partai Islam baru tersebut ternyata tak bisa terwujud. Hanya Masyumi yang diubah namanya menjadi Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang diloloskan atas jasa H.Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.
Di samping keinginan untuk merehabilitasi partai politik Islam hingga tahun 1971 beberapa pemimpin Islam masih berupaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Salah satu cara yang ditempuh adalah menempatkan “Piagam Jakarta” sebagai sumber hukum yang menjiwai UUD 45.
Harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai kekecewaan baru karena setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pemerintah.
Dalam rangka pengawasan itu, pemerintah mencanangkan pembaruan sistem politik. Mereka menyederhanakan partai politik yang ada. Hasil penyederhanaan itu yakni peserta pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik. Memerhatikan sikap pemerintah yang sepertio itu para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, dan beresiko tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai berubah haluan, perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
Alasan “Piagam Jakarta” dijadikan landasan berpijak karena dokumen historis ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959, tentang kembali ke UUD 45. Dalam bagian konsideran ditegaskan bahwa “Piagam Jakarta” menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan dengan UUD tersebut. Dengan landasan itulah di Indonesia telah dibenarkan untuk membentuk perundang-undangan di bidang hukum Islam yang berlaku khusus bagi orang-orang Islam.
Di dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional, tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat muslim. Bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan,hibah, wakaf, dan hukum zakat. Di antara semua itu hanya bidang hukum perkawinan yang berhasil dalam membentuk UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

v   Kelahiran Hukum Positif Islam Bidang Perwakafan Tanah
Pemerintah mengeluarkan hukum positif(islam) kedua melalui peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Proses pembentukan hukum wakaf itu tidak mengalami persoalan yang rumit seperti UU perkawinan, karena selain bentuknya lebih sederhana, objek yang diaturnya juga tidak terlalu peka dan tidak langsung bersinggungan dengan nilai-nilai agama.[4]
v   Hubungan PP No.28/1977 dengan Hukum Fikih Tradisional
Apabila kita hubungkan PP No.28/1977 dengan hukum Islam(fikih tradisional) akan terlihat beberapa hal menarik sebagai berikut:
Ø Perumusan tentang pengertian wakaf yang terdapat dalam PP No.28/1977 tersebut merupakan perumusan baru jika dibandingkan dengan fikih tradisional. Yang dimaksud fikih tradisional adalah fikih yang telah dipahami masyarakat muslim Indonesia selama berabad-abad. Menurut PP No.28/1977, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya, untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Ø Yang menjadi wakif dalam PP No.28/1977 itu tidak hanya perseorangan tetapi badan hukum. Hal ini belum disebutkan dalam fikih tradisional.
Ø Yang diatur dalam PP No.28/1977 itu hanya mengenai tanah milik saja, sedangkan dalam fikih tradisional selain mengatur tanah milik juga benda-benda bergerak lainnya asalkan zatnya kekal dan tahan lama.
Ø PP No. 28/1977 hanya mengatur wakaf untuk peribadatan dan keperluan umum lainnya, sedangkan fikih tradisional mengatur juga wakaf untuk kepentingan khusus atau wakaf ahli.
Ø Dalam fikih tradisional rukun wakaf hanya disebutkan empat, tanpa menyebutkan nadir. Sedangkan dalam PP No.28/1977 nadir termasuk rukun wakaf, tanpa menyebutkan dengan jelas, maka rukun wakaf tidak dianggap lengkap oleh PP No.28/1977 itu dan oleh karen aitu pula perwakafan tanah itu menjadi tidak sah. Di dalam PP No.28/1977 diatur sangat terperinci mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadir perseorangan dan nadir yang berbentuk badan hukum dan secara terinci juga disebutkan hak dan kewajiban nadir tanah wakaf itu.
Ø Di dalam PP No.28/1977 disebutkan dengan jelas tentang tata cara mewakafkan tanag dan pendaftarannya, sedangkan dalam fikih tradisional hal-hal yang bersifat administratif itu tidak dibicarakan.
Ø Di dalam PP No.28/1977 disebutkan sanksi pidana terhadap orang-orang yang melanggar pasal-pasal tertentu dalam PP itu dan peraturan pelaksanaannya. Sedangkan di dalam fikih tradisional, sanksi yang demikian tidak disebutkan. Hal itu disebabkan karena menurut para ahli hukum fikih tradisional perwakafan merupakan Tabarru’.[5]






Kesimpulan
Ada 3 hal yang melatar belakangi lahirnya orde baru diantaranya:
1.      Penumpasan terhadap G-30-S
2.      Munculnya kesatuan aksi
3.      Supersemar
Harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai kekecewaan baru karena setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pemerintah.
Dalam rangka pengawasan itu, pemerintah mencanangkan pembaruan sistem politik. Mereka menyederhanakan partai politik yang ada. Hasil penyederhanaan itu yakni peserta pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik. Memerhatikan sikap pemerintah yang sepertio itu para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, dan beresiko tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai berubah haluan, perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia berubah menjadi perjuangan kultural dari bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
Alasan “Piagam Jakarta” dijadikan landasan berpijak karena dokumen historis ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959, tentang kembali ke UUD 45. Dalam bagian konsideran ditegaskan bahwa “Piagam Jakarta” menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan dengan UUD tersebut. Dengan landasan itulah di Indonesia telah dibenarkan untuk membentuk perundang-undangan di bidang hukum Islam yang berlaku khusus bagi orang-orang Islam.
Di dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional, tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat muslim. Bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan,hibah, wakaf, dan hukum zakat. Di antara semua itu hanya bidang hukum perkawinan & hukum perwakafan yang berhasil dalam membentuk UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 3 tahun kemudian dibentuklah UU No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan.dan berikutnya tentang kewarisan lalu pada tahun 1990 diresmikanlah Kompilasi Hukum Islam.




















Daftar Pustaka
Tim Penyusun. 2003. Sejarah. Jakarta:Intan Pariwara
 Cahyono,Heru.1992.Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu sampai Malari,Jakarta:Sinar Harapan.
Hazairin dalam Sayuti Thalib.1985.Hukum Kekeluargaan Indonesia,Jakarta: UI Press.
Zuhdi, H. Masjfuk.1989. Masa’il Fiqhiyah, Jakarta:CV. Haji Mas Agung.
Ansari,Endang Syaefuddin.1973. Kritik atas Paham Pembaru, Bandung:Bulan Sabit








[1] Tim Penyusun. 2003. Sejarah. Jakarta:Intan Pariwara
[2] Cahyono,Heru.1992.Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu sampai Malari,Jakarta:Sinar Harapan.
[3] Hazairin dalam Sayuti Thalib.1985.Hukum Kekeluargaan Indonesia,Jakarta: UI Press.

[4] Zuhdi, H. Masjfuk.1989. Masa’il Fiqhiyah, Jakarta:CV. Haji Mas Agung.

[5] Ansari,Endang Syaefuddin.1973. Kritik atas Paham Pembaru, Bandung:Bulan Sabit

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking