Ada
3 hal yang melatar belakangi lahirnya orde baru diantaranya:
1.
Penumpasan terhadap G-30-S
2.
Munculnya kesatuan aksi
3.
Supersemar[1]
Lahirnya Orde Baru
ditandai dengan dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Tumbangnya Orde
Lama dan lahirnya Orde Baru merupakan angin segar yang memberi harapan baru
bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Hal-hal yang menandai harapan baru
itu sebagai berikut :
ü Tumbangnya PKI
sebagai musuh utama organisasi-organisasi Islam yang selalu bekerjasama dengan
kelompok sekuler untuk menyingkirkan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia
ü Pengaruh
Soekarno dalam percaturan politik kenegaraan yang selalu menafikan kedudukan
hukum Islam dalam konstitusi dan perundang-undangan nasional.
ü Tampilnya KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai pendobrak Orde Lama yang di-backing
oleh ABRI.
ü Bersatunya
ormas Islam dalam perjuangan untuk mengutuk G30S/PKI & mengusulkan
pembubaran PKI dan antek-anteknya.[2]
Dalam situasi seperti itu timbul semangat baru, semacam romantisme
kebangkitan gerakan politis Islam. Keinginan lama untuk mendirikan negara yang
berdasarkan Islam yang telah gagal, muncul semangat baru untuk memperjuangkan
kembali. Keinginan itu lahir karena kelompok umat islam merasa bahwa baik dalam
pembentukan negara maupun dalam perjuangan kelahiran Orde Baru, memiliki
peranan yang besar.
Untuk mewujudkan keinginan politik itu, umumnya opini politik itu
menginginkan rehabilitasi partai politik yang telah diberlakukan pada masa Orde
Lama. Keinginan umat Islam untuk merehabilitasi partai politik Islam itu mulai
tampak. Misalnya pada saat tasyakuran dalam rangka pembebasan para pemimpin
Masyumi dari penjara. Tahun 1967 Moh. Hatta bersama beberapa eksponen HMI dan
PII bermaksud mendirikan partai Demokrasi Islam Indonesia. Pada awal Orde Baru
beberapa tokoh Muhammadiyah bermaksud mengaktifkan kembalai partai Islam
Indonesia.[3]
Keinginan merehabilitasi partai politik Islam & pendirian
partai Islam baru tersebut ternyata tak bisa terwujud. Hanya Masyumi yang
diubah namanya menjadi Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) yang diloloskan atas
jasa H.Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.
Di samping keinginan untuk merehabilitasi partai politik Islam
hingga tahun 1971 beberapa pemimpin Islam masih berupaya menjadikan Islam
sebagai dasar negara. Salah satu cara yang ditempuh adalah menempatkan “Piagam
Jakarta” sebagai sumber hukum yang menjiwai UUD 45.
Harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum
Islam dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai
kekecewaan baru karena setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya,
mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik
Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi
kekuatan pemerintah.
Dalam rangka pengawasan itu, pemerintah mencanangkan pembaruan
sistem politik. Mereka menyederhanakan partai politik yang ada. Hasil
penyederhanaan itu yakni peserta pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik.
Memerhatikan sikap pemerintah yang sepertio itu para pemimpin Islam sadar bahwa
perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya
berhasil, dan beresiko tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai berubah
haluan, perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah
menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk
mewujudkan hukum Islam di Indonesia berubah menjadi perjuangan kultural dari
bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam
dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
Alasan “Piagam Jakarta” dijadikan landasan berpijak karena dokumen
historis ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959,
tentang kembali ke UUD 45. Dalam bagian konsideran ditegaskan bahwa “Piagam
Jakarta” menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan dengan UUD tersebut. Dengan
landasan itulah di Indonesia telah dibenarkan untuk membentuk
perundang-undangan di bidang hukum Islam yang berlaku khusus bagi orang-orang
Islam.
Di dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur
hukum Islam dalam hukum nasional, tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat
muslim. Bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan yakni hukum perkawinan,
hukum kewarisan,hibah, wakaf, dan hukum zakat. Di antara semua itu hanya bidang
hukum perkawinan yang berhasil dalam membentuk UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
v
Kelahiran Hukum Positif Islam Bidang Perwakafan Tanah
Pemerintah mengeluarkan hukum positif(islam) kedua melalui
peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Proses
pembentukan hukum wakaf itu tidak mengalami persoalan yang rumit seperti UU
perkawinan, karena selain bentuknya lebih sederhana, objek yang diaturnya juga
tidak terlalu peka dan tidak langsung bersinggungan dengan nilai-nilai agama.[4]
v
Hubungan PP No.28/1977 dengan Hukum Fikih Tradisional
Apabila kita hubungkan PP No.28/1977 dengan hukum Islam(fikih
tradisional) akan terlihat beberapa hal menarik sebagai berikut:
Ø Perumusan
tentang pengertian wakaf yang terdapat dalam PP No.28/1977 tersebut merupakan
perumusan baru jika dibandingkan dengan fikih tradisional. Yang dimaksud fikih
tradisional adalah fikih yang telah dipahami masyarakat muslim Indonesia selama
berabad-abad. Menurut PP No.28/1977, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah
milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya, untuk kepentingan peribadatan
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Ø Yang menjadi
wakif dalam PP No.28/1977 itu tidak hanya perseorangan tetapi badan hukum. Hal
ini belum disebutkan dalam fikih tradisional.
Ø Yang diatur
dalam PP No.28/1977 itu hanya mengenai tanah milik saja, sedangkan dalam fikih
tradisional selain mengatur tanah milik juga benda-benda bergerak lainnya
asalkan zatnya kekal dan tahan lama.
Ø PP No. 28/1977
hanya mengatur wakaf untuk peribadatan dan keperluan umum lainnya, sedangkan
fikih tradisional mengatur juga wakaf untuk kepentingan khusus atau wakaf ahli.
Ø Dalam fikih tradisional
rukun wakaf hanya disebutkan empat, tanpa menyebutkan nadir. Sedangkan dalam PP
No.28/1977 nadir termasuk rukun wakaf, tanpa menyebutkan dengan jelas, maka
rukun wakaf tidak dianggap lengkap oleh PP No.28/1977 itu dan oleh karen aitu
pula perwakafan tanah itu menjadi tidak sah. Di dalam PP No.28/1977 diatur
sangat terperinci mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadir
perseorangan dan nadir yang berbentuk badan hukum dan secara terinci juga
disebutkan hak dan kewajiban nadir tanah wakaf itu.
Ø Di dalam PP
No.28/1977 disebutkan dengan jelas tentang tata cara mewakafkan tanag dan
pendaftarannya, sedangkan dalam fikih tradisional hal-hal yang bersifat
administratif itu tidak dibicarakan.
Ø Di dalam PP
No.28/1977 disebutkan sanksi pidana terhadap orang-orang yang melanggar
pasal-pasal tertentu dalam PP itu dan peraturan pelaksanaannya. Sedangkan di
dalam fikih tradisional, sanksi yang demikian tidak disebutkan. Hal itu
disebabkan karena menurut para ahli hukum fikih tradisional perwakafan
merupakan Tabarru’.[5]
Kesimpulan
Ada
3 hal yang melatar belakangi lahirnya orde baru diantaranya:
1.
Penumpasan terhadap G-30-S
2.
Munculnya kesatuan aksi
3.
Supersemar
Harapan baru bagi umat Islam untuk memantapkan keberadaan hukum
Islam dalam tata hukum di Indonesia pada awal Orde Baru ini juga disertai
kekecewaan baru karena setelah pemerintah Orde Baru memantapkan kekuasaannya,
mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik
Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi
kekuatan pemerintah.
Dalam rangka pengawasan itu, pemerintah mencanangkan pembaruan
sistem politik. Mereka menyederhanakan partai politik yang ada. Hasil
penyederhanaan itu yakni peserta pemilu 1971 terdiri atas 10 partai politik.
Memerhatikan sikap pemerintah yang sepertio itu para pemimpin Islam sadar bahwa
perjuangan untuk menegakkan hukum Islam melalui jalur politik tidak selamanya
berhasil, dan beresiko tinggi. Karena itu para pemimpin Islam mulai berubah
haluan, perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu negara Islam berubah
menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan untuk
mewujudkan hukum Islam di Indonesia berubah menjadi perjuangan kultural dari
bawah, yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam
dengan tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”.
Alasan “Piagam Jakarta” dijadikan landasan berpijak karena dokumen
historis ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959,
tentang kembali ke UUD 45. Dalam bagian konsideran ditegaskan bahwa “Piagam
Jakarta” menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan dengan UUD tersebut. Dengan
landasan itulah di Indonesia telah dibenarkan untuk membentuk
perundang-undangan di bidang hukum Islam yang berlaku khusus bagi orang-orang
Islam.
Di dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur
hukum Islam dalam hukum nasional, tetap dilakukan oleh kelompok masyarakat
muslim. Bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan yakni hukum perkawinan,
hukum kewarisan,hibah, wakaf, dan hukum zakat. Di antara semua itu hanya bidang
hukum perkawinan & hukum perwakafan yang berhasil dalam membentuk UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. 3 tahun kemudian dibentuklah UU No.28 Tahun 1977
tentang Perwakafan.dan berikutnya tentang kewarisan lalu pada tahun 1990
diresmikanlah Kompilasi Hukum Islam.
Daftar Pustaka
Tim Penyusun. 2003. Sejarah. Jakarta:Intan Pariwara
Cahyono,Heru.1992.Peranan
Ulama dalam Golkar 1971-1980, dari Pemilu sampai Malari,Jakarta:Sinar
Harapan.
Hazairin dalam Sayuti Thalib.1985.Hukum Kekeluargaan Indonesia,Jakarta:
UI Press.
Zuhdi, H. Masjfuk.1989. Masa’il Fiqhiyah, Jakarta:CV. Haji
Mas Agung.
Ansari,Endang Syaefuddin.1973. Kritik atas Paham Pembaru, Bandung:Bulan
Sabit
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking