Bladsye

Translate

2014/01/06

Tafsir surat Al-Hujurat:9

Surat Al-Hujurat : 9
وَإِن طَآٮِٕفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَہُمَا‌ۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَٮٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَـٰتِلُواْ ٱلَّتِى تَبۡغِى حَتَّىٰ تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِ‌ۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَہُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْ‌ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ 

Arti : Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.[1]

Mufradat :
Tafi’a ila amrillah تَفِىٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِ
Artinya sehingga golongan itu telah kembali kepada perintah Allah. Kata tafi’a bentuk mudari’ dari fa’a, kata jadiannya al-fay’. Kalimat yang akar katanya ini berkisar pada arti “kembali”. Bayangan sesuatu pada sore hari disebut juga al-fay’ karena bayangan tersebut kembali dari arah barat menuju ke arah timur.. Ar-Ragib al-Asfahani menjelaskan bahwa kata al-fay’ ditujukan kepada arti kembali kepada sesuatu yang terpuji sebagaimana pada Surat al-Hujarat ini. Harta rampasan perang tanpa ada perlawanan dari musuh disebut juga al-fay’. Karena harta adalah laksana bayang-bayang yang tidak abadi. Bisa juga karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum Muslimin.[2]
Munasabah :
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memberikan peringatan agar jangan mudah menerima berita dari orang fasik tanpa mengecek kebenarannya lebih dahulu karena hal ini bisa menimbulkan korban dan penyesalan. Pada ayat-ayat berikut, Allah kembali menerangkan bahwa berita-berita itu mungkin membawa akibat buruk atau menyebabkan perpecahan dan permusuhan di antara 2 golongan kaum Muslimin, bahkan bisa menyebabkan terjadinya peperangan.

Asbabun Nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi Saw, naik keladai pergi kerumah Abdullah bin Ubay (munafik). Berkatalah Abdullah bin Ubay: “Enyahlah engkau daripadaku, semi Allah aku telah terganggu karen abau busuk himarmu ini”. Berkatalah seorang Anshar “Demi Allah, keledainya lebih harum baunya daripada engkau”. Marahlah anak buah Abdullah bin Ubay kepadanya sehingga timbulah kemarahan kedua belah pihak dan terjadilah perkelahian dengan menggunakan pelepah korma, tangan dan sandal. Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut yang memerintahkan menghentikan peperangan dan menciptakan perdamaian. (Diriwayatkan oleh As-Syaikhani yang bersumber dari Anas)
Dalam riwayatkan lain dikemukakan bahwa 2 orang dari kaum Muslimin bertengkar satu sama lain. Maka marahlah para pengikut kedua kaum itu dan berkelahi dengan menggunakan tangan dan sandal. (Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Jarir yang bersumber dari Abi Malik).
Riwayat lainnya juga dikemukakan ada seorang laki-laki Anshar yang bernama Imran beristrikan Ummu Zaid, istrinya bermaksud ziarah ke rumah keluarganya akan tetapi dilarang oleh suaminya bahkan dikurung di atas loreng.
Istrinya tadi mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa ke rumah keluarganya.
Suaminya meminta tolong kepada ahlinya. Maka datanglah anak-anak pamannya mengambil kembali wanita tersebut dari keluarganya. Dengan demikian terjadilah perkelahian pukul memukul dengan menggunakan sandal untuk memperebutkan wanita tersebut. Maka tiurunlah Surat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.[3]( Riwayat oleh Ibnu Jarir dan Abi Hatim yang bersumber dari As-Suddi.)

Tafsir:
Dalam ayat ini jelas sekali perintah Ttuhan kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggungjawab, kalau mereka dapati ada 2 golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya itu berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongan yang berperang itu. Karena bisa saja kejadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah faham sehingg atimbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga untuk mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama-sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan hendaklah diketahui apa sebab-sebabnya dia untuk terus berperang. Hendaklah diketahui mengapa ada 1 pihak yang tidak mau berdamai, yang tidak mau berdamai di dalam ayat ini disebut orang yang menganiaya. Maka orang yang ingin mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai dia kalah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu barulah diperiksa dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah. Dan wajib dikembalikan kepada jalan Allah.[4]
Maka jika dia telah kembali, hendaklah damaikan di antara keduanya dengan adil.” Orang yang hendak mendamaikan benar-benar tegak di tengah, jangan berpihak, tunjukkan di mana kesalahan masing-masing, karena bila keduanya telah sampai berkelahi tidak mungkin dikatakan bahwa yang salah hanya 1 saja. Kemauan yang satunya lagi buat turut berkelahi sudah menunjukkan bahwa dia pun salah juga. “Dan berlaku adillah” yang salah katakan bahwa dia memang salah dan jelaskan dalam hal apa salahnya dan berapa tingkat kesalahannya dan yang benar katakan pula kebenarannya; “Sesungguhnya Allah adalah amat suka kepada orang-orang yang berlaku adil.”
Apabila orang yang mengetahui dan mendamaikan perkara 2 orang atau 2 golongan yang berselisih itu benar-benar adil, kedua golongan itu niscaya akan menerima dan merasa puas menerima keadilan itu. Dan dia sendiri pun dengan senang hati terbuka akan melanjutkan usahan mendamaikan, karena tidak ada usaha lain yang berlaku sebagai mencari “udang di balik batu”, mencari keuntungan untuk diri sendiri. Keikhlasan hatilah yang utama dalam hal ini.
Maka setiap orang yang bermaksud dengan jujur menjalankan perintah Allah dalam ayat ini, mendamaikan 2 golongan orang yang beriman yang telah jatuh ke dalam perselisihan, lalu mendamaikan dengan cara adil, Rasulullah S.a.w bersabda :
Orang yang berlaku adil di sisi Allah di hari kiamat akan duduk di atas mimbar dari cahaya yang bersinar di sebelah kanan ‘arasy, yaitu orang-orang yang adil pada hukum mereka dan pada ahli keluarga mereka selama mereka mengatur.” (Riwayat Sufyan bin Uyaynah dari hadis Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash)
Dan sebuah hadis lagi:
Orang yang berlaku adil di dunia akan duduk di atas mimbar dari mutiara di hadapan Tuhan yang bersifat Rahman,’Azza wa Jalla, karena keadilan mereka di dunia.’
Dari ayat ini pula kita mendapat kesimpulan bahwasanya kedua orang Islam yang telah berkelahi sampai menumpahkan darah, sampai berperang itu, masih dipanggilkan oleh Tuhan kepada orang lain bahwa mereka berdua belah pihak adalah orang-orang yang beriman, maka hendaklah orang lain yang mengaku dirinya beriman agar berusaha mendamaikan mereka. Di sini kita mendapat kesan bahwa bagaimanapun hebatnya perjuangan sampai bertumpah darah, namun tidak ada kalangan kedua belah pihak yang tidak beriman.
Hal yang seperti ini, yaitu perkelahian sampai pertumpahan darah, peperangan hebat menyebabkan melayang nyawa beribu-ribu orang telah pernah kejadian di antara sahabat-sahabat Rasulullah sendiri,yaitu di antara Ali bin Abu thalib bersama Abdullah bin Abbas di satu pihak dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan beserta ‘Amr bin al-‘Ash di pihak lain. Maka orang-orang Islam yang berfikiran lurus, yang bersikap adil tidaklah menuduh kafir salah satu pihak daripada sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu. Dan tidaklah boleh kita abaikan perkataan Rasulullah yang telah memuji baik yang khusus kepada sahabat-sahabatnya, sebagai yang dijanjikan masuk surga atau yang umum.
Dalam hal ini yang kita pake adalah Mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah; yaitu dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan sahabat-sahabat Rasulullah itu lebih baik kita diam. Ibnul Furak berkata: “Pertentangan yang timbul di antara sahabat-sahabat Rasulullah sesamanya sajalah halnya dengan pertentangan di antara saudara-saudara Nabi Yusuf terhadap Nabi Yusuf sendiri. Mereka berselisih tidaklah ada di antara mereka yang keluar dari barisan wilayah dan nubuwah.”[5]
Inilah kaidah hukum yang praktis untuk memelihara masyarakat mukmin dari permusuhan dan perpecahan di bawah kekuatan dan pertahanan. Kaidah ini disajikan setelah menerangkan berita dari orang fasik dan tidak tergesa-gesa mempercayainya. Juga setelah menerangkan perintah agar berlindung di balik pemeliharaan diri dari semangat tanpa hati-hati dalamn meyakini persoalan.
Baik ayat di atas diturunkan karena alasan tertentu seperti yang dikemukakan oleh sejumlah riwayat, maupun sebagai tatanan belaka seperti pada kondisi ini, ayat itu mencerminkan kaidah umum yang ditetapkan untuk memelihara kelompok Islam dari perpecahan dan perceraiberaian. Kaidah itu pun bertujuan meneguhkan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Yang menjadi pilar bagi semua ini ialah ketakwaan kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya dengan menegakkan keadilan dan perdamaian.
Al-Qur’an menghadapi atau mengantisipasi kemungkinan terjadinya perang antara dua kelompok mukmin. Mungkin salah satu kelompok itu berlaku zalim atas kelompok lain, bahkan mungkin keduanya berlaku zalim dalam salah satu segi. Namun Allah mewajibkan kaum mukminin lain, tentu saja bukan dari kalangan yang bertikai, supaya menciptakan perdamaian di antara kedua kelompok yang berperang. Jika salah satunya bertindak melampaui batas dan tidak mau kembali kepada kebenaran, misalnya kedua kelompok itu berlaku zalim dengan menolak untuk berdamai atau menolak untuk menerima hukum Allah dalam menyelesaikan aneka masalah yang diperselisihkan, maka kaum mukminin hendaknya memerangi kelompok yang zalim tersebut dan terus memeranginya hingga mereka kembali kepada “perakara Allah”.
Yang dimaksud dengan “perkara Allah” ialah menghentikan permusuhan di antara kaum mukminin dan menerima hukum Allah dalam menyelesaikan apa yang mereka perselisihkan. Jika pihak yang zalim telah menerima hukum Allah secara penuh, kaum mukminin hendaknya menyelenggarakan perdamaian yang berlandaskan keadilan yang cermat sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dan pencarian keridhaaan-Nya.[6]
Daftar Pustaka
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, Jakarta : Wdya cahya,2011

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan kesan & keserasian, Jakarta, Lentera Hati, 2002

KH. Qamaruddin, Asbabun Nuzul, Bandung, CV Diponegoro. 1985.

Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006

Prof.Dr.Hamka, Tafsir Al-Azhar,Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982

Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilail Qur’an, Beirut: Gema Insani, 1992






[1] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya, Jakarta : Wdya cahya,2011
[2] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan kesan & keserasian, Jakarta, Lentera Hati, 2002
[3] KH. Qamaruddin, Asbabun Nuzul, Bandung, CV Diponegoro. 1985.
[4] Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006
[5] Prof.Dr.Hamka, Tafsir Al-Azhar,Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982
[6] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilail Qur’an, Beirut: Gema Insani, 1992

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking