Bladsye

Translate

2013/03/22

Ijtihad tidak dapat dihapus dengan Ijtihad lain


A.    Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa , kata ijtihad berasal dari  bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata yajtahid, ijtihad artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu :[1] “pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci.”
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam penerapan hukum.”
Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama diatas maka ijtihad itu terbagi 2:
1.      Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada suatu masa dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu masih dianggap cukup untuk menjawab masalah hukum di kalangan umat Islam. namun menurut ulama Hambali, ijtihad bentuk pertama ini tidak boleh vakum sepanjang masa karena mujtahid semacam ini selalu dibutuhkan karena banyak masalah yang harus dijawab hukumnya.
2.      Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada di setiap masa. Tugas utama Mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu. Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-manath.

B.     Dasar Ijtihad
Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum Islam. dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad, baik diungkapkan secara isyarat maupun secara jelas.
a.       Surat an-Nisa ayat 105:
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran , supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
b.      Surat an-Nisa ayat 59:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,  taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

C.    Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirimuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
a.       Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk mencarinya ketika dibutuhkan
b.      Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Menurut ibn Arabi(w. 543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yajng terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain
c.       Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan hadis) yang tidak berlaku lagi.
d.      Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
e.       Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f.       Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur’an dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
g.      Mengetahui ilmu ushul fiqg, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh.
h.      Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah.[2]







D.    Tingkatan Mujathid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a.       Mujtahid fi al-syar’i, disebut mustaqil. Ialah orang yang membangun suartu mazhab seperti Imam Mujtahid yang empat yaitu Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
b.      Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah.
c.       Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazali dalam mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali
d.      Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf san mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij.

E.     Lapangan Ijtihad
Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis. Dengan catatan bahwa nas tersebut masih berssifat zhan bukan qat’i. Atau pada permasalahan yang hukumnya belum ada nas. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti seperti mengeluarkan hukum wajib puasa, shalat, zakat dan Haji. Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.
Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah yang sudah ada nasnya secara qat’i serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-ayat tentang hukum ibadah ( shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya), ayat-ayat tentang hudud(hukuman bagi pencuri, pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas, dan sebagainya) dan ayat yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum perdagangan, riba, emnggauli istri, dan etika kepada orang tua. Ayat-ayat ini di atas bukanlah termasuk lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’i, yang menjadi lapangan ijtihad adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum musik dan nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu, masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam sholat shubuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada dalam nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi plastik, alat kontrasepsi, bedah mayat, dan menggugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada 2 macam:
a.       Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan
b.      Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan ijtihad. Pertama, hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh menyalahi hasil ijytihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad kedua tidaklah lebih kuat dari ijtihad pertama..Kedua, tidaklah ijtihad di antara ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya, Ketiga, membatalkan satu ijtihad dengan ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan ini merupakan kesulitan dan kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah memutuskan suatu masalah tetapi Umar mempunyai pendapat lain tentang masalah itu hingga Umar menghukuminya berbeda. Sikap umar itu tidak membatalkan ijtihad Abu Bakar. Contoh lain , pada zaman Nabi ada 2 orang dalam perjalanan. Maka ketika itu masuklah waktu sholat dan di sekitar itu tidak ditemukan air. Maka keduanya sholat dengan bertayamum. Kemudian setelah sholat mereka meneruskan perjalanan, sampai sebuah perkampungan keduanya menemukan air dan waktu sholat dzuhur masih ada. Kemudian salah satu dari sahabat itu berijtihad dengan berwudhu dan mengulangi sholat sedangkan sahabat yang satu tidak mengulanginya.
F.     Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
a.       Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya dikarenakana adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan kumur-kumur.
b.      Maslahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada asas menarik manfaat dan menghindari mudharat, contoh mencatat pernikahan.
c.       Istihsan, adalah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir
d.      Istihshab, adalah melangsungkan berlakunya ketetentuan hukum yang ada sampai ada ketetntuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman yang tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
e.       Urf, adalah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada 2 macam urf. Pertama urf shahih, yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nas. Contohnya acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan dari urf shahih, contohnya kebiasaan meninggalkan sholat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan dan sebagainya.[4]




G.    Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
a.       Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihad wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan ijtihad lain.
b.      Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
c.       Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum pernah terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi(fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
d.      Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua berijitihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[5]













KESIMPULAN

Menurut bahasa , kata ijtihad berasal dari  bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata yajtahid, ijtihad artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Surat an-Nisa ayat 105:
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran , supaya kamu mengadili antara manusia dan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Surat an-Nisa ayat 59:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,  taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada 2 macam:
a.       Pada sesuatu yang ada nasnya tetapi nasnya masih zhan
b.      Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada sama sekali dalam nas.
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.







DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh. Damaskus: Daar al- fikr, 1958

Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus:Daar al-Fikr,1986

Ibrahim Husen,dkk., Ijtihad dalam sorotan, Bandung:Mizan,1996

Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: 2009

Drs. Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana,2011







[1] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh (Damaskus: Daar al- fikr)
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus:Daar al-Fikr,1986)
[3] Ibrahim Husen,dkk., Ijtihad dalam sorotan, (Bandung:Mizan,1996)
[4] Drs. Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana,2011
[5] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: 2009)

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking