A.
Pengertian Mahar
Kata
“Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di
Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
Mahar
itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq,
nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar,dan alaiq. Keseluruhan kata
tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang
diterima.
Dalam
tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh mahar itu
meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah
dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah
berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan oleh ulama waktu itu
sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, definisi tepat
yang dapat mencangkup dua kemungkinan itu adalah: “ Pemberian khusus yang
bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah”.
Definisi
tersebut mengandung pengertian bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau
setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah.
Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela di luar akad nikah tidak disebut
mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah
selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan
mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai
perempuan, tidak disebut mahar.
B.
Hukum Mahar
Dari
definisi mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar
itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib
menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan
mahar kepada istrinya.
Dasar
wajibnya menyertakan mahar itu ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalil dalam ayat
Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang bunyinya:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ
طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.
Demikian pula firman Allah dalam surat an-Nisa
ayat 24 yang artinya:
Maka karena kesenangan yang telah kamu
dapatkan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka mahar mereka secara fardhu.
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk
memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi
mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkanmya
sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebgai syarat sah bagi suatu
perkawinanan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah.
Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan
tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Meskipun demikian, bila setelah menerima mahar si
istri memberikan lagi sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya secara
sukarela, suami boleh mengambilnya. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari
ujung ayat 4 surat an-Nisa tersebut diatas.
Walaupun mahar itu disepakati kedudukannya sebagai
syarat sah perkawinan, namun sebagian ulama di antaranya ulama Zhairiyah
menyatakan tidak mestinya mahar tersebut disebutkan dan diserahkan ketika akad
nikah itu berlangsung. Namun dalam masa ikatan perkawinan mahar itu harus sudah
diseraehkan.
C. Hikmah
diwajibkannya Mahar
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami
kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama
karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus
dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup
perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan
untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.
D. Berlakunya
Kewajiban Mahar
Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban
membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad
nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar
yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau
kematian seorang di antara suami istri terjadi sebelum dukhull, namun
suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad. Tentang
kapan mahar wajib dibayar keseluruhannya kelihatannya ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabalah sepakat tentang dua syarat, yaitu:
hubungan kelamin dan matinya salah seorang diantara keduanya setelah
berlangsungnya akad. Kesepakatan mereka didasarkan kepada firman Allah dalam
surat al-Baqarah (2) ayat 237:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum sempat kamu sentuh dan kamu telah menetapkan untuk mereka mahar, maka
kewajibanmu adalah separuhnya.
Di luar dua hal tersebut terdapat perbedaan
pendapat. Ulama Hanafiyah dan Hanabalah berpendapat bahwa kewajiban mahar itu
dimulai dari khalwa, meskipun belum berlaku hubungan kelamin. Khalwa itu
oleh ulamma Hanafiyah statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami-istri
dalam banyak hal. Sedangkan Ibnu Abi Laila mewajibkan mahar semenjak
berkumpulnya suami istri tanpa persyaratan apa-apa.
Ulama Hanafiyah menambahkan satu syarat, yaitu
berlangsungnya talaq bain, walaupun belum berlangsung hubungan kelamin.
Ulama Malikiyah menambahkan satu syarat lagi yaitu istri telah serumah dengan
suaminya selama satu tahun; sedangkan menurut ulama Hanabalah semenjak bersentuhan
dengan bernafsu antara suami istri telah wajib membayar mahar keseluruhannya.
E. Macam-macam Mahar
Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan
meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada waktu akad. Dari segi
dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar itu ada dua macam:
Pertama: Mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilanya
secara jelas dalam akad, disebut mahar musamma. Inilah mahar yang umum
berlaku dalam suatu perkawinan. Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi
selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan. Suami wajib membayar
tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad
perkawinan itu.
Kedua: Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya
pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang
diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahr
mitsl.
Mahar mitsl diwajibkan dalam 3 kemungkinan:
Pertama: dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama
sekali mahar atau jumlahnya.
Kedua: suami menyebutkan mahar musamma, namun
mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat
seperti maharnya adalah minuman keras.
Ketiga: suami ada menyebutkan mahar masamma, namun
kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan
tidak dapat diselesaikan.
Bila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian
terjadi putus perkawinan setelah melakukan hubungan kelamin, sewaktu akad
maharnya adalah dalam bentuk musamma, maka kewajiban suami yang
menceraikan adalah mahar secara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah yang
ditetapkan dalam akad. Demikian pula keadaannya bila salah seorang di antara
keduanya meninggal dunia; karena meninggal dunia itu telah berkedudukan sebagai
telah melakukan hubungan kelamin. Namun bila perceraian terjadi sebelum
berhubungan kelamin, sedangkan sejumlah mahar sudah ditentukan, maka kewajiban
mantan suami hanyalah separuh dari sejumlah yang ditentukan waktu akad, kecuali
bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan istri atau walinya. Hal ini
dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ
النِّكَاحِ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu
sebelum sempat kamu sentuh dan kamu telah menetapkan untuk mereka mahar, maka
kewajibanmu adalah separuhnya, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.
F. Bentuk, Jenis, dan
Nilai Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik
berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan
mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang
oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Qur’an
dan demikian pula hadis Nabi.
Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur’an
ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang
perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat al-Qashash ayat 27:
قَالَ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ
تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ
Berkatalah
dia (Syu’aib): ‘sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah urusanmu.
Contoh
dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar
sebagaimana terdapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq
alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
Nabi
berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Qur’an?” ia menjawab: Ya,
surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya”. Nabi berkata: “Pergilah, saya
kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an”.
Bila
mahar itu dalam bentuk barang, maka syaratnya:
a.
Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya
b.
Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti
dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saya yang
dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama baraang yang
dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
c.
Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan
dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan
mahar, seperti minuman keras, daging babi, dan bangkai.
d.
Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan
dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya paa waktu diperlukan.
Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar,
seperti burung yang terbang di udara.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking