Bladsye

Translate

2013/03/22

Mahar Perkawinan


A.    Pengertian Mahar

Kata “Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama, yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar,dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.
Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan oleh ulama waktu itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh karena itu, definisi tepat yang dapat mencangkup dua kemungkinan itu adalah: “ Pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah”.
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan secara sukarela di luar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak disebut mahar.

B.     Hukum Mahar

Dari definisi mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.
Dasar wajibnya menyertakan mahar itu ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dalil dalam ayat Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang bunyinya:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Demikian pula firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 24 yang artinya:
Maka karena kesenangan yang telah kamu dapatkan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka mahar mereka secara fardhu.
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada istri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkanmya sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebgai syarat sah bagi suatu perkawinanan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Meskipun demikian, bila setelah menerima mahar si istri memberikan lagi sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya secara sukarela, suami boleh mengambilnya. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ujung ayat 4 surat an-Nisa tersebut diatas.
Walaupun mahar itu disepakati kedudukannya sebagai syarat sah perkawinan, namun sebagian ulama di antaranya ulama Zhairiyah menyatakan tidak mestinya mahar tersebut disebutkan dan diserahkan ketika akad nikah itu berlangsung. Namun dalam masa ikatan perkawinan mahar itu harus sudah diseraehkan.
C.    Hikmah diwajibkannya Mahar
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan oleh suami selama masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya.
D.    Berlakunya Kewajiban Mahar
Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar separuh dari jumlah mahar yang ditentukan waktu akad. Alasannya ialah walaupun putus perkawinan atau kematian seorang di antara suami istri terjadi sebelum dukhull, namun suami telah wajib membayar separuh mahar yang disebutkan waktu akad. Tentang kapan mahar wajib dibayar keseluruhannya kelihatannya ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabalah sepakat tentang dua syarat, yaitu: hubungan kelamin dan matinya salah seorang diantara keduanya setelah berlangsungnya akad. Kesepakatan mereka didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 237:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum sempat kamu sentuh dan kamu telah menetapkan untuk mereka mahar, maka kewajibanmu adalah separuhnya.
Di luar dua hal tersebut terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyah dan Hanabalah berpendapat bahwa kewajiban mahar itu dimulai dari khalwa, meskipun belum berlaku hubungan kelamin. Khalwa itu oleh ulamma Hanafiyah statusnya sudah disamakan dengan bergaulnya suami-istri dalam banyak hal. Sedangkan Ibnu Abi Laila mewajibkan mahar semenjak berkumpulnya suami istri tanpa persyaratan apa-apa.
Ulama Hanafiyah menambahkan satu syarat, yaitu berlangsungnya talaq bain, walaupun belum berlangsung hubungan kelamin. Ulama Malikiyah menambahkan satu syarat lagi yaitu istri telah serumah dengan suaminya selama satu tahun; sedangkan menurut ulama Hanabalah semenjak bersentuhan dengan bernafsu antara suami istri telah wajib membayar mahar keseluruhannya.
E.     Macam-macam Mahar
Mahar itu adalah suatu yang wajib diadakan meskipun tidak dijelaskan bentuk dan harganya pada waktu akad. Dari segi dijelaskan atau tidaknya mahar itu pada waktu akad, mahar itu ada dua macam:
Pertama: Mahar yang disebutkan bentuk, wujud atau nilanya secara jelas dalam akad, disebut mahar musamma. Inilah mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan. Selanjutnya kewajiban suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya perkawinan. Suami wajib membayar tersebut yang wujud atau nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu.
Kedua: Bila mahar tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya. Mahar dalam bentuk ini disebut mahr mitsl.
Mahar mitsl diwajibkan dalam 3 kemungkinan:
Pertama: dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya.
Kedua: suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras.
Ketiga: suami ada menyebutkan mahar masamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
Bila mahar tidak dalam bentuk tunai kemudian terjadi putus perkawinan setelah melakukan hubungan kelamin, sewaktu akad maharnya adalah dalam bentuk musamma, maka kewajiban suami yang menceraikan adalah mahar secara penuh sesuai dengan bentuk dan jumlah yang ditetapkan dalam akad. Demikian pula keadaannya bila salah seorang di antara keduanya meninggal dunia; karena meninggal dunia itu telah berkedudukan sebagai telah melakukan hubungan kelamin. Namun bila perceraian terjadi sebelum berhubungan kelamin, sedangkan sejumlah mahar sudah ditentukan, maka kewajiban mantan suami hanyalah separuh dari sejumlah yang ditentukan waktu akad, kecuali bila yang separuh itu telah dimaafkan oleh mantan istri atau walinya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum sempat kamu sentuh dan kamu telah menetapkan untuk mereka mahar, maka kewajibanmu adalah separuhnya, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.
F.    Bentuk, Jenis, dan Nilai Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam Al-Qur’an dan demikian pula hadis Nabi.
Contoh mahar dalam bentuk jasa dalam Al-Qur’an ialah menggembalakan kambing selama 8 tahun sebagai mahar perkawinan seorang perempuan. Hal ini dikisahkan Allah dalam surat al-Qashash ayat 27:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖ
Berkatalah dia (Syu’aib): ‘sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah urusanmu.

Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar sebagaimana terdapat dalam hadis dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’adiy dalam bentuk muttafaq alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat Al-Qur’an?” ia menjawab: Ya, surat ini dan surat ini, sambil menghitungnya”. Nabi berkata: “Pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan Al-Qur’an”.

Bila mahar itu dalam bentuk barang, maka syaratnya:
a.       Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya
b.      Barang itu miliknya sendiri secara pemilikan penuh dalam arti dimiliki zatnya dan dimiliki pula manfaatnya. Bila salah satunya saya yang dimiliki, seperti manfaatnya saja dan tidak zatnya umpama baraang yang dipinjam, tidak sah dijadikan mahar.
c.       Barang itu sesuatu yang memenuhi syarat untuk diperjualbelikan dalam arti barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dijadikan mahar, seperti minuman keras, daging babi, dan bangkai.
d.      Dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang dijanjikan dalam arti barang tersebut sudah berada di tangannya paa waktu diperlukan. Barang yang tidak dapat diserahkan pada waktunya tidak dapat dijadikan mahar, seperti burung yang terbang di udara.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking