Bladsye

Translate

2013/03/22

Sejarah Intelektual Imam Maliki dan Metodenya menyelesaikan masalah


A.    Imam Malik Pendiri Madzab Maliki
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 711-795 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.[1]

Di samping belajar pemikiran hukum Islam, Imam Malik juga belajar hadis Nabi kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in), diantaranya : Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibnu Shihab al-Zuhri, Muhammad bin Mukadir, Nafi’ bin Abi Nuaim, Abu Zinad, Dll. Hadits yang diterimanya dituangkan dalam suatu karya monumental: al-Muwatha’. Kitab ini memuat hadis-hadis Nabi sekaligus tradisi masyarakat Madinah.

Karya Imam Malik yang terbesar adalah bukunya Al-Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Menurut riwayat, buku itu tidak akan ada apabila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al-Mansyur sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad. Dan sangsinya mengumpulkan hadis-hadis dan membukukannya. Kitab ini ditulis pada masa khalifah Al-Mansyur (754-775 M) dan selesai pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M).

B.     Pemikiran Hukum Imam Malik
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, pemikiran hukum Islam Imam Malik cenderung mengutamakan riwayat yakni mengedepankan hadis dan fatwa sahabat. Pengaruh riwayat yang menonjol adalah penerimaan tradisi masyarakat Madinah sebagai metode hukum.[2]
Secara sistematis, pola pemikiran hukum Islam Imam Malik sebagai berikut :
a)      Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan berada diatas yang lainnya.
b)      Al-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, karena fungsinya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an serta menetapkan hukum sendiri.
c)      Tradisi masyarkat Madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat kota ini.
d)     Ijma’ seluruh pakar hukum Islam dan pakar lainnya yang berkaitan dengan masalah umat.
e)      Fatwa Sahabat yang dipandang oleh Imam Malik sebagai hadis. Namun hadis ini lemah, karena sanadnya terhenti pada sahabat
f)        Qiyas, bagi Imam Malik mencakup 3 hal. Pertama, menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum karena terdapat alasan yang sama (Qiyas Ishthilahi). Kedua, menguatkan hukum yang dikehendaki oleh kebaikan individu atas hukum yang dimunculkan oleh qiyas (Istihsan Isthilahi). Ketiga, kebaikan umum yang tidak ditegaskan oleh sumber hukum, namun ia diambil untuk menghindari kesulitan.
g)      Al-Mashlahah al-Mursalah menetapkan hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan Syari’ah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh nalar pakar hukum Islam sendiri
h)      Istihsan, menurut Imam Malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum (maslahah) bila tidak ditemukan jawabannya dalam sumber hukum, karena Syariat hanya hadir demi kemaslahatan manusia.
i)        Sadd al-Dzariah adalah menutup sarana atau jalan maksiat atau menimbulkan kerusakan.[3]

C.    Hadits yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan Beliau

Dari Abu Hurairah Rodhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam" bersabda: "Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah." (Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunan Kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam Taqdimatul Jarh wat Ta’dil hal. 11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam Siyar 8/56: Ha-dits ini sanadnya bersih dan matannya gharib)[4]

Abdurrazaq bin Hammam ber-kata:"Kami memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam sabda Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam: ... mereka ti-dak mendapati seorang alim yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah.

Sufyan bin Uyainah berkata: "Dulu aku mengatakan dia adalah Sa’id bin Musayyib kemudian seka-rang aku mengatakan bahwa dia adalah Malik yang dia tidak ada bandingannya di Madinah."

Abul Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa makna ha-dits di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak mendapati orang yang lebih berilmu daripada seorang ulama di Madinah.

Adz-Dzahabi berkata: "Tidak ada di Madinah seorang ulama pun setelah tabi’in yang menyeru-pai Malik dalam keilmuan, fiqh, ke-agungan, dan hafalan."


D.    Fiqh dan Keilmuan Beliau

Al-lmam asy-Syafi’i berkata: "Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilanglah ilmu Hijaz."

Al-Imam asy-Syafi’i juga ber-kata: "Muhammad bin Hasan -sa-habat Abu Hanifah- berkata kepadaku:"Siapakah yang lebih berilmu tentang al-Qur’an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau sahabat kalian (yaitu Malik)?" Aku berkata: Secara adil ? Dia berkata: Ya: Aku berkata: Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang lebih berilmu tentang al-Qur’an, sahabat kami atau sahabat kalian? Dia berkata: Sahabat kalian (yaitu Malik): Aku berkata: Siapakah yang lebih berilmu tentang Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian? Dia berkata: Sahabat kalian (yaitu Malik): Aku berkata: Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang lebih berilmu tentang perkataan para sahabat Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam dan perkataan para ulama terdahulu, sahabat kami atau sahabat kalian? Dia berkata: Sahabat kalian (yaitu Malik):" Asy-Syafi’i berkata: "Maka aku berkata: Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas adalah analo-gi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini, pada apa dia mengqiyaskan sesuatu?".[5]

Abu Hatim ar-Razi berkata: "Malik bin Anas adalah seorang yang tsiqah, imam penduduk Hi-jaz, dia adalah murid Zuhri yang terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah Malik."

Al-lmam Ahmad bin Hanbal berkata: "Malik bin Anas adalah yang paling kokoh dari manusia dalam hadits."[6]

Kehati-Hatian Beliau Dalam Berfatwa

Abu Mush’ab berkata: "Aku mendengar Malik berkata: "Aku ti-dak berfatwa hingga 70 orang ber-saksi bahwa aku layak berfatwa:"

Abdurrahman bin Mahdi ber-kata: "Kami berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya berkata: Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan. Penduduk negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan. Al-Imam Malik berkata: "Tanyakanlah!" Maka orang tersebut bertanya kepadanya suatu permasalahan. Al-Imam Malik menjawab: "Saya tidak bisa menjawabnya." Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata: "Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang kepada mereka?" Al-Imam Malik berkata: "Katakan kepada mereka: Malik ti-dak bisa menjawab:"

Khalid bin Khidasy berkata: "Aku datang kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah dia menjawabnya kecuali 5 masalah."     
Perhatian Beliau Kepada Kitabullah

Khalid al-Aili berkata: "Aku ti-dak pernah melihat seorang yang lebih besar perhatiannya kepada Kitabullah dibandingkan Malik bin Anas."

Abdullah bin Wahb berkata: "Aku bertanya kepada saudara perempuan Malik bin Anas: "Apakah kesibukan Malik dirumahnya?" Dia menjawab: "Mushaf dan tilawah.""          

Tentang Akal dan Adab Beliau

Abdurrahman bin Mahdi ber-kata: "Aku tidak pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akal-nya dibandingkan Malik
bin Anas."

Abu Mush’ab berkata: "Aku tidak pernah sekalipun mendengar Malik menyuruh orang-orang berdiri, dia hanya berkata: “Kalau kalian menghendaki, kembalilah.”

Abdullah bin Wahb berkata: "Yang kami nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari ilmunya."

    
Ittiba’ Beliau Kepada Sunnah

Abdullah bin Wahb berkata: "Aku mendengar Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki ketika berwudhu, maka dia ber-kata: "Hal itu tidak disyari’atkan atas manusia." Abdullah bin Wahb berkata: "Aku biarkan dia sampai ketika sudah sepi dari manusia aku katakan kepadanya:"Kami memiliki hadits tentang itu." Maka dia berkata: "Apa itu?" Aku berkata: "Telah mengkhabarkan kepada kami Laits bin Sa’d, Ibnu Lahi’ah, dan Amr bin Harits dari Yazid bin Amr al-Ma’afiri dari Abu Abdirrahman al-Hubulli dari Mustaurid bin Sy-addad al-Qurasyi dia berkata: "Aku melihat Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan kelingkingnya." Malik berkata: "Hadits ini hasan, aku belum pernah mendengarnya kecuali saat ini." Abdullah bin Wahb berkata: "Kemudian sesudah itu aku men-dengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu."[7]

Di Antara Perkataan--perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata: "Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang:
(1) Orang dungu yang menampakkan kedunguannya meskipun dia paling banyak riwayatnya-,
(2) Ahli bid’ah yang mengajak kepada hawa nafsu-nya,
(3) Orang yang biasa berdusta ketika bicara dengan manusia -meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits-,
(4) Orang shalih yang banyak beribadah jika dia tidak hafal hadits yang dia riwayatkan."

Beliau berkata: "Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah,
mengambil sunnah-sunnah terse-but adalah ittiba’ kepada Kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Alloh, dan kekuatan di atas agama Alloh. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti sunnah-sunnah tersebut dan melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Orang yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan petunjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan orang-orang mu’min, Alloh memaling-kannya sebagaimana dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat kembali."
Al-Imam asy-Syafi’i berkata: "Adalah al-Imam Malik jika didatangi oleh sebagian ahli bid’ah, dia mengatakan: "Adapun aku maka berada di atas kejelasan dari agamaku, adapun kamu maka seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah dia!”
Ja’far bin Abdullah berkata: "Kami di sisi Malik, tiba-tiba datang seseorang yang berkata: "Wahai Abu Abdillah, Alloh bersemayam di atas ’Arsy, bagaimana istiwa itu?" Tidaklah Malik marah dari sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangan-nya hingga bercucuran keringatnya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu tersebut seraya mengatakan: "Kaifiyyat dari istiwa tidak diketa-hui, istiwa bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa adalah wajib, dan bertanya tentang kai-fiyyatnya adalah bid’ah, dan aku menduga kamu adalah seorang ahli bid’ah. "Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis.
E.     Cobaan Beliau       
Ibnu Jarir berkata: "Malik pernah dipukul dengan cambuk." Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan ath--Thathari bahwasanya Abu Ja’far al-Manshur melarang Malik dari menyampaikan hadits: "Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa", kemudian ada orang yang menye-lundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik menyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja’far kemudian mencambuk Malik."

Muhammad bin Umar berkata: "Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia."

Adz-Dzahabi berkata: "Inilah buah dari ujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman."  

F.     Tulisan-tulisan Beliau:
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah:al-Muwaththa’ -yang di-katakan oleh al-Imam asy-Syafi’i: Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yang yang lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’ Malik-, Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan yang lainnya.




KESIMPULAN

Imam Maliki adalah seorang ulama Madinah yang dilahirkan di Madinah pada tahun 711-795 M, beliau berasal dari keluarga Arab terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi. Lalu beliau belajar pemikiran hukum Islam dan juga belajar hadis Nabi kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in), diantaranya : Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibnu Shihab al-Zuhri, Muhammad bin Mukadir, Nafi’ bin Abi Nuaim, Abu Zinad, Dll. Hadits yang diterimanya dituangkan dalam suatu karya monumental: al-Muwatha’. Kitab ini memuat hadis-hadis Nabi sekaligus tradisi masyarakat Madinah.

Beliau mengutamakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai sumber keutamaan hukum Islam serta beberapa hukum lainnya sebagai pendamping seperti hadis, norma masyarakat, ijma’, dll

Beliau membuat karya-karya buku di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Muwaththa’ -yang di-katakan oleh al-Imam asy-Syafi’i: Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yang yang lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’ Malik-, Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan yang lainnya.





















DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hukum Islam. Surabaya: IAIN SUNAN AMPEL PRESS, 2011.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011


K.H Mas Mansur, Perjuangan dan Pemikiran . Jakarta: 2006

Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: 1987

Muhammad Ali. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: 2003

Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta : 2001










    





[1] TIM PENYUSUN MKD IAIN SA, Studi Hukum Islam, Surabaya: 2011
[2] K.H Mas Mansur, Perjuangan dan Pemikiran (Jakarta)
[3] http://imanhsy.blogspot.com/2011/06/biografi-imam-malik-metode-istinbathnya.html
[4] Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: 1987
[5] Sapiudin shidiq. Ushul Fiqh. Jakarta: 2011

[6] Muhammad Ali. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: 2003
[7] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta : 2001

1 opmerking: