Bladsye

Translate

2013/03/14

PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA GLOBALISASI


Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.¹
Abstrak

Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu.  Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
Kata Kunci:

Pendidikan Islam, kekuatan pembebas, dampak negatif globalisasi






A. Pendahuluan
Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi, karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan cenderung “menolak” nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.³
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world system 4
            Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner,
              “One of the best known and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis: in industrial and industrializing societies, in influence of religion diminishes. There is a number of versions of this theory: the scientific basis of the new technology undermines faith, or the erosion of social units deprives religion of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian, rationalized religion eventually cuts its own throat”5.

Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi, revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak dasawarsa 1980-an. Sejak periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang sebagai ‘sekular’ – bergerak ke ‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya kesadaran kolektif akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik negara itu. 6
Antara lain karena berkembangnya pandangan tentang saling berkaitnya antara nilai-nilai agama dengan masalah yang menyangkut kamaslahatan umum, maka sosiolog seperti Robert N. Bellah – meskipun tidak meletakkannya dalam konteks agama Katolik maupun Protestan – melihatnya dalam perspektif civil religion.7 Dalam nada yang sama, Jose Casanova melihat peran penting agama dalam kehidupan sosial politik di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat. Itu semua diekspresikannya dalam konteks bahwa agama itu bukan persoalan pribadi (private), tetapi justru persoalan publik (public). Karenanya, agama adalah sesuatu yang seharusnya deprivatized. 8

B. Peran Pendidikan Islam
Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrumen untuk memahami dunia. 9 Dalam konteks itu, hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis, lebih-lebih Islam, hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir di mana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri itu, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia – baik yang bersifat sosial budaya, ekonomi, maupun politik. 10 Sementara itu, secara sosiologis, tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi. 11
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kehadiran agama selalu disertai dengan “dua muka” (janus face). Pada satu sisi, secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat exclusive, particularist, dan primordial. Akan tetapi, pada waktu yang sama juga kaya akan identitas yang bersifat inclusive, universalist dan transcending. 12
 Jadi ada dua hal yang harus dilihat dari gambaran tersebut di atas. Yaitu, memahami posisi agama dan meletakkannya dalam situasi yang lebih riil – agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Dan dalam konteks yang terakhir ini, sering ditemukan ketegangan antara kedua wilayah tersebut – agama dan persoalan kemasyarakatan. Untuk meletakkan hubungan antara keduanya dalam situasi yang lebih empirik, sejumlah pemikir dan aktivitas sosial politik telah berusaha membangun paradigma yang dipandang memungkinkan. Tentu konstruksi pemikiran yang ditawarkan antara lain dipengaruhi dan dibentuk oleh asal-usul teologis dan sosiologis ataupun spacio-temporal serta particularitas yang melingkup mereka.13
                Tapi, terlepas dari variasi konstruksi pemikiran yang ditawarkan, pada dasarnya ada tiga aliran besar dalam hal ini. Pertama, perspektif makanik-holistik, yang memposisikan hubungan antara agama dan persoalan kemasyarakatan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Kedua, pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa keduanya merupakan wilayah (domains) yang antara satu dengan lainnya berbeda, karenanya harus dipisahkan. Ketiga, pandangan tengah yang mencoba mengintegrasikan pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan antara agama dengan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan perspektif mekanik holistik yang seringkali melakukan generalisasi, bahwa agama selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah kemasyarakatan.
                Secara garis besar, aliran ketiga ini berpendapat bahwa agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan wilayah yang berbeda. Tapi, karena imbasan nilai-nilai agama dalam persoalan masyarakat dapat terwujud dalam bentuk yang tidak mekanik-holistik dan institusional, di dalam realitas sulit ditemukan bukti-bukti yang tegas (brute fact) bahwa antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Untuk itu, hubungan antara dua wilayah yang berbeda itu akan selalu ada – dalam kadar dan intensitas yang tidak sama serta dalam pola dan bentuk yang tidak selalu mekanistik, formalistik atau legalistik. Seringkali konstruksi polanya mengambil bentuk inspiratif dan substantif.14
            Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian, pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu sepenuhnya, maka sudah sewajarnyalah untuk dapat memahami hakikat pendidikan Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam. 15
            Al-Qur’an meletakkan kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di bumi (Al-Baqarah: 30). Esensi makna Khalifah adalah orang yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin alam. Dalam hal ini manusia bertugas untuk memelihara dan memanfaatkan alam guna mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
            Agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal, maka sudah semestinyalah manusia itu memiliki potensi yang menopangnya untuk terwujudnya jabatan khalifah tersebut. Potensi tersebut meliputi potensi jasmani dan rohani.
            Potensi jasmani adalah meliputi seluruh organ jasmaniah yang berwujud nyata. Sedangkan potensi rohaniah bersifat spiritual yang terdiri dari fitroh, roh, kemauan bebas dan akal. 16 Manusia itu memiliki potensi yang meliputi badan, akal dan roh. 17 Ketiga-tiganya persis segitiga yang sama panjang sisinya. Selanjutnya, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa potensi spiritual manusia meliputi dimensi: akidah, akal, akhlak, perasaan (hati), keindahan, dan dimensi sosial. Selain dari itu al-Qur’an menjelaskan juga tentang potensi rohaniah lainnya, yakni al-Qalb, ‘Aqlu An Ruh, an-Nafs. Dengan bermodalkan potensi yang dimilikinya itulah manusia merealisasi fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya.18
            Di sisi lain, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah (Az-Zariyat, 56). Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
            Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai.
            Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
            Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1.      Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2.      Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3.      Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).
            Para ahli pendidikan Islam seperti al-Abrasyi, an-Nahlawi, al-jamali, as-Syaibani, al-Ainani, masing-masing mereka tersebut telah merinci tujuan akhir pendidikan Islam yang pada prinsipnya tetap berorientasi kepada ketiga komponen tersebut. 19
            Ketiga permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
            Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
            Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
            Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesant5ren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.
            Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.
            Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.
               “And that them exists at present a regrettable dichotomy in education the Muslim World, one system, namely, religious education being completely divorced from the secular sciences and secular education being equally divorced from religion, although such compartmentalization was contrary to the true Islamic concept of education and made it impossible for the products of either system to represent Islam as a comprehensive and integrated vision of life”.20

            Melihat masa depan yang akan datang yang penuh dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan jika pendidikan Islam tersebut masih terikat dikhotomi. Berkenaan dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapainya, mobilisasi pendidikan Islam tersebut, misalnya melakukan rancangan kurikulum, baik merancang keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam, sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi dan; lembaga pendidikan Islam dapat merealisasikan konsep kurikulum pendidikan Islam seutuhnya.

C. Era Globalisasi
Globalisasi adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan Jepang melakukan ekspansi besar-besaran; kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan teknologi, ilmu pengetahuan, politik, budaya, militer dan ekonomi.
Pengaruh mereka di segala bidang terhadap negara-negara berkembang yang baru terlepas dari belenggu penjajahan berdampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak positif, karena pada beberapa segi ikut mendorong negara-negara baru berkembang untuk maju secara teknis, serta menjadi lebih sejahtera secara material. Sedangkan dampak negatifnya antara lain berupa: (1) munculnya teknokrasi dan tirani yang sangat berkuasa dan; (2) didukung oleh alat-alat teknik modern dan persenjataan yang canggih.
Ternyata kini bahwa ilmu pengetahuan, mesin-mesin, pesawat hiper modern dan persenjataan itu sering disalahgunakan; yaitu dijadikan mekanisme operasionalistik yang menjarah dan menghancurkan. Sebagai akibatnya timbul banyak perang, penderitaan dan malapetaka di dunia. Negara-negara maju itu pada banyak segi, terutama di bidang teknis, ilmu pengetahuan dan manajerial memiliki segugus besar kelebihan dan kelimpahan, berupa: science, teknik canggih, industri dan produksi yang berlimpah. Karena itu semua kelimpahan tadi perlu didistribusikan keluar, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan. Oleh sebab itu mereka memerlukan lahan pasar lebih luas lagi untuk menjual kelebihan hasil produksinya. Maka langkah niaga mereka yang semula bersifat spontan, damai, ramah, humaniter dan fasifistis, kemudian berubah menjadi agersif, ekspansif, eksploitatif, menjarah dan imperialistik. Tidak lama kemudian mereka menjadi kekuatan neo-kolonialisme (militer-politik-ekonomi) yang cepat mengembangkan sayap  kekuasaannya ke negara-negara yang lemah sistem perekonomiannya.
Sehubungan dengan nafsu ekspansi mereka itu, teknik dan ilmu pengetahuan yang dijadikan alat politik dan alat ekonomi perlu disamarkan. Misalnya dalam bentuk: misi bantuan pengembangan, program pembangunan daerah miskin, misi perdamaian, dana pampasan, tugas kemanusiaan, program kerjasama pendidikan, misi kebudayaan dan lain-lain. Maka berkaitan dengan derasnya arus globalisasi yang ditunggangi aksi-aksi kolonial tersembunyi perlu lebih meningkatkaqn kewaspadaan nasional, di samping memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkar relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk kultur, dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan dunia baru yang mengglobal dan saling berhubung. Revoluasi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi, dan pertukaran merupakan pra-anggapan (presumpposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke dalam orbitnya.
Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk mamahami globalisasi, teknosainslah (techno-science) yang memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak dalam hubungan dalektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis, atau tekno-kapitalisme (techno-capitalism). Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau instusional. Dalam masing-masing  kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat meningkatnya homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Trend menuju homogenitas sering kali diasosiasikan dengan imperialisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya pengaruh internasional terhadap kultur tertentu. Ada banyak variasi imperialisme kuktural termasuk yang menekankan peran yang dimainkan oleh kultur Amerika meskipun dia tak menggunakan istilah inperialisme kultural, menentang ide tersebut melalui konsepnya yang sangat terkenal, glocalization, di mana dunia global dilihat berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, yakni glocal.
Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia . Globalitas adalah proses baru setidaknya keran tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.21
Michael juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannyan dengan manifestasi lain dari transnasionalitas antara lain: (1) kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh; (2) ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism); (3) komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless); (4) bertambahnya kesadaran tentang bahaya global dan tindakan yang harus diambil untuk menanganinya; (5) meningkatnya persepsi transtruktural dalam kehidupan kita; (6) industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan; (7) peningkatan dalam jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional. 22
            Ada dua event yang hampir bersamaan munculnya pada saat bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya global ini ditandai dalam bidang ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik akan tumbuh semangat demokratisasi.

Dalam bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang berlangsung begitu cepat yang saling mempengaruhi, dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.
Event kedua adalah reformasi, dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru Indonesia ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya. Wajah baru Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat madai, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan.

D.    Kesimpulan

Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal berikut ini:
1.      Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
2.      Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
3.      Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin tajam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. and Davis M. Hart (eds.).1984. Islam in Tribal Societies: From the Atlas to the Indus. : London: Routledge and Kegan Paul.
Al-Qur’an al-Karim
Asy-Syaibani, Umar Muhammad At-Toumy. 1975. Falsafah atTarbiyyah al-Islamiyyah. Trabulus: Asy-Syirkah al-Ammah.
Ayubi, Nazih. 1991. Political Islam; Religion and Political in the Arab World, London: Routledge.
Bellah, Robert N.1991. Civil Religion in America, dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditionalist World. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Casanova, Jose. 1994. Public Religions in The Modern World. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Chossudovsky, Michael. 1997. The Globalization of Poverty: Impact of IMF and World Bank Reforms. Penang: Third World Book.
Daradjat, Zakiah. 1984. Pembinaan Dimensi Rohaniyah Manusia dalam Pandangan Islam. Medan: IAIN.
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Gutmann, Amy and Dennis Thompson. 1989.Ethics and Politics: Case and Commentaries. Chicago: Nelson Hall Publishers.
Johnson, Benton. 1985. Religion and Politics in America: The Last Twenty Years, dalam Phillipe E. Hammond (ed.), The Secred in a Secular. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Langgulung, Hasan. 1986. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation State: The Rise of Regional Economies. London: Harper Collins Publishers.
Pocock, J.G.A. 1989. Politics, Language, and Time: Essay on Political Thought and History. Chicago: University of Chicago Press:


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking