A.
Imam Malik Pendiri Madzab Maliki
Imam
malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin
Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di
Madinah pada tahun 711-795 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan
berstatus sosial yang tinggi, baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya,
tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut
islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu Amir adalah anggota keluarga
pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.[1]
Di
samping belajar pemikiran hukum Islam, Imam Malik juga belajar hadis Nabi
kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in), diantaranya :
Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibnu Shihab al-Zuhri, Muhammad bin Mukadir, Nafi’ bin
Abi Nuaim, Abu Zinad, Dll. Hadits yang diterimanya dituangkan dalam suatu karya
monumental: al-Muwatha’. Kitab ini memuat hadis-hadis Nabi sekaligus tradisi
masyarakat Madinah.
Karya Imam
Malik yang terbesar adalah bukunya Al-Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang
berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Menurut riwayat, buku itu tidak akan
ada apabila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al-Mansyur sebagai sangsi
atas penolakannya untuk datang ke Baghdad. Dan sangsinya mengumpulkan
hadis-hadis dan membukukannya. Kitab ini ditulis pada masa khalifah Al-Mansyur
(754-775 M) dan selesai pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M).
B.
Pemikiran Hukum Imam Malik
Berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya, pemikiran hukum Islam Imam Malik cenderung
mengutamakan riwayat yakni mengedepankan hadis dan fatwa sahabat. Pengaruh
riwayat yang menonjol adalah penerimaan tradisi masyarakat Madinah sebagai
metode hukum.[2]
Secara
sistematis, pola pemikiran hukum Islam Imam Malik sebagai berikut :
a)
Al-Qur’an
sebagai sumber hukum yang pertama dan berada diatas yang lainnya.
b)
Al-Sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, karena fungsinya menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an serta menetapkan hukum sendiri.
c)
Tradisi
masyarkat Madinah adalah sejumlah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat
kota ini.
d)
Ijma’ seluruh pakar hukum Islam dan pakar lainnya yang berkaitan dengan
masalah umat.
e)
Fatwa
Sahabat yang dipandang oleh Imam Malik sebagai hadis. Namun hadis ini lemah,
karena sanadnya terhenti pada sahabat
f)
Qiyas, bagi Imam Malik
mencakup 3 hal. Pertama, menyamakan hukum kasus dengan sumber hukum
karena terdapat alasan yang sama (Qiyas Ishthilahi). Kedua, menguatkan
hukum yang dikehendaki oleh kebaikan individu atas hukum yang dimunculkan oleh
qiyas (Istihsan Isthilahi). Ketiga, kebaikan umum yang tidak ditegaskan
oleh sumber hukum, namun ia diambil untuk menghindari kesulitan.
g)
Al-Mashlahah al-Mursalah menetapkan
hukum untuk kasus hukum dengan mempertimbangkan tujuan Syari’ah, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan, yang proses analisisnya
lebih banyak ditentukan oleh nalar pakar hukum Islam sendiri
h)
Istihsan, menurut Imam
Malik adalah menetapkan hukum berdasarkan kebaikan umum (maslahah) bila tidak
ditemukan jawabannya dalam sumber hukum, karena Syariat hanya hadir demi
kemaslahatan manusia.
C.
Hadits yang Mengisyaratkan Tentang Keutamaan
Beliau
Dari Abu Hurairah Rodhiallahu anhu bahwasanya
Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam" bersabda: "Sungguh manusia akan
menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, maka mereka tidak mendapati
seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah."
(Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunan Kubra 2/489 dan Ibnu Abi Hatim dalam
Taqdimatul Jarh wat Ta’dil hal. 11-12 dan berkata adz-Dzahabi dalam Siyar 8/56:
Ha-dits ini sanadnya bersih dan matannya gharib)[4]
Abdurrazaq bin Hammam ber-kata:"Kami
memandang bahwa dia adalah Malik bin Anas (yaitu dalam sabda Rasulullah
Sholallahu alaihi wasalam: ... mereka ti-dak mendapati seorang alim yang lebih
berilmu dibandingkan dengan ulama Madinah.
Sufyan bin Uyainah berkata: "Dulu aku
mengatakan dia adalah Sa’id bin Musayyib kemudian seka-rang aku mengatakan
bahwa dia adalah Malik yang dia tidak ada bandingannya di Madinah."
Abul Mughirah al-Makhzumi menyebutkan bahwa
makna ha-dits di atas adalah selama kaum muslimin menuntut ilmu mereka tidak
mendapati orang yang lebih berilmu daripada seorang ulama di Madinah.
Adz-Dzahabi berkata: "Tidak ada di Madinah
seorang ulama pun setelah tabi’in yang menyeru-pai Malik dalam keilmuan, fiqh,
ke-agungan, dan hafalan."
D.
Fiqh dan Keilmuan Beliau
Al-lmam asy-Syafi’i berkata: "Seandainya
tidak ada Malik dan Sufyan maka sungguh akan hilanglah ilmu Hijaz."
Al-Imam asy-Syafi’i juga ber-kata:
"Muhammad bin Hasan -sa-habat Abu Hanifah- berkata kepadaku:"Siapakah
yang lebih berilmu tentang al-Qur’an, sahabat kami (yaitu Abu Hanifah) atau
sahabat kalian (yaitu Malik)?" Aku berkata: Secara adil ? Dia berkata: Ya:
Aku berkata: Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang lebih
berilmu tentang al-Qur’an, sahabat kami atau sahabat kalian? Dia berkata:
Sahabat kalian (yaitu Malik): Aku berkata: Siapakah yang lebih berilmu tentang
Sunnah, sahabat kami atau sahabat kalian? Dia berkata: Sahabat kalian (yaitu
Malik): Aku berkata: Aku bertanya kepadamu dengan nama Alloh siapakah yang
lebih berilmu tentang perkataan para sahabat Rasulullah Sholallahu alaihi
wasalam dan perkataan para ulama terdahulu, sahabat kami atau sahabat kalian?
Dia berkata: Sahabat kalian (yaitu Malik):" Asy-Syafi’i berkata:
"Maka aku berkata: Tidak tersisa sekarang kecuali qiyas, sedangkan qiyas
adalah analo-gi pada pokok-pokok ini, orang yang tidak tahu pokok-pokok ini,
pada apa dia mengqiyaskan sesuatu?".[5]
Abu Hatim ar-Razi berkata: "Malik bin Anas
adalah seorang yang tsiqah, imam penduduk Hi-jaz, dia adalah murid Zuhri yang
terdepan. Jika penduduk Hijaz menyelisihi Malik, maka yang benar adalah
Malik."
Al-lmam Ahmad bin Hanbal berkata: "Malik
bin Anas adalah yang paling kokoh dari manusia dalam hadits."[6]
Kehati-Hatian Beliau Dalam Berfatwa
Abu Mush’ab berkata: "Aku mendengar Malik
berkata: "Aku ti-dak berfatwa hingga 70 orang ber-saksi bahwa aku layak
berfatwa:"
Abdurrahman bin Mahdi ber-kata: "Kami
berada di sisi al-Imam Malik bin Anas, tiba-tiba datang seseorang kepadanya
seraya berkata: Aku datang kepadamu dari jarak 6 bulan perjalanan. Penduduk
negeriku menugaskan kepadaku agar aku menanyakan kepadamu suatu permasalahan.
Al-Imam Malik berkata: "Tanyakanlah!" Maka orang tersebut bertanya
kepadanya suatu permasalahan. Al-Imam Malik menjawab: "Saya tidak bisa
menjawabnya." Orang tersebut terhenyak, sepertinya dia membayangkan bahwa
dia telah datang kepada seseorang yang tahu segala sesuatu, orang tersebut berkata:
"Lalu apa yang akan aku katakan kepada penduduk negeriku jika aku pulang
kepada mereka?" Al-Imam Malik berkata: "Katakan kepada mereka: Malik
ti-dak bisa menjawab:"
Khalid bin Khidasy berkata: "Aku datang
kepada Malik dengan membawa 40 masalah, tidaklah dia menjawabnya kecuali 5
masalah."
Perhatian Beliau Kepada Kitabullah
Khalid al-Aili berkata: "Aku ti-dak pernah
melihat seorang yang lebih besar perhatiannya kepada Kitabullah dibandingkan
Malik bin Anas."
Abdullah bin Wahb berkata: "Aku bertanya
kepada saudara perempuan Malik bin Anas: "Apakah kesibukan Malik
dirumahnya?" Dia menjawab: "Mushaf dan
tilawah.""
Tentang Akal dan Adab Beliau
Abdurrahman bin Mahdi ber-kata: "Aku tidak
pernah melihat ahli hadits yang lebih bagus akal-nya dibandingkan Malik
bin Anas."
Abu Mush’ab berkata: "Aku tidak pernah
sekalipun mendengar Malik menyuruh orang-orang berdiri, dia hanya berkata:
“Kalau kalian menghendaki, kembalilah.”
Abdullah bin Wahb berkata: "Yang kami
nukil dari adab Malik lebih banyak daripada yang kami pelajari dari
ilmunya."
Ittiba’ Beliau Kepada Sunnah
Abdullah bin Wahb berkata: "Aku mendengar
Malik ditanya oleh seseorang tentang masalah menyela-nyela jari-jari kedua kaki
ketika berwudhu, maka dia ber-kata: "Hal itu tidak disyari’atkan atas
manusia." Abdullah bin Wahb berkata: "Aku biarkan dia sampai ketika
sudah sepi dari manusia aku katakan kepadanya:"Kami memiliki hadits
tentang itu." Maka dia berkata: "Apa itu?" Aku berkata:
"Telah mengkhabarkan kepada kami Laits bin Sa’d, Ibnu Lahi’ah, dan Amr bin
Harits dari Yazid bin Amr al-Ma’afiri dari Abu Abdirrahman al-Hubulli dari
Mustaurid bin Sy-addad al-Qurasyi dia berkata: "Aku melihat Rasulullah
Sholallahu alaihi wasalam menggosok sela-sela jari-jari kakinya dengan
kelingkingnya." Malik berkata: "Hadits ini hasan, aku belum pernah
mendengarnya kecuali saat ini." Abdullah bin Wahb berkata: "Kemudian
sesudah itu aku men-dengar Malik ditanya tentang hal tersebut dan dia memerintahkan
agar menyela-nyela jari-jari kaki ketika berwudhu."[7]
Di Antara Perkataan--perkataan Beliau
Al-Imam Malik berkata: "Ilmu tidak boleh
diambil dari empat orang:
(1) Orang dungu yang menampakkan kedunguannya
meskipun dia paling banyak riwayatnya-,
(2) Ahli bid’ah yang mengajak kepada hawa
nafsu-nya,
(3) Orang yang biasa berdusta ketika bicara
dengan manusia -meskipun aku tidak menuduh dia berdusta dalam hadits-,
(4) Orang shalih yang banyak beribadah jika dia
tidak hafal hadits yang dia riwayatkan."
Beliau berkata: "Rasulullah Sholallahu
alaihi wasalam dan para khalifah sesudah beliau telah membuat sunnah-sunnah,
mengambil sunnah-sunnah terse-but adalah
ittiba’ kepada Kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Alloh, dan kekuatan di
atas agama Alloh. Tidak boleh bagi seorang pun mengubah dan mengganti
sunnah-sunnah tersebut dan melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Orang
yang mengambil sunnah-sunnah tersebut maka dialah orang yang mendapatkan
petunjuk. Orang yang meminta pertolongan dengannya maka dia akan tertolong. Dan
barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah mengikuti selain jalan
orang-orang mu’min, Alloh memaling-kannya sebagaimana dia berpaling dan
memasukkannya ke dalam jahannam yang merupakan sejelek-jelek tempat
kembali."
Al-Imam asy-Syafi’i berkata: "Adalah
al-Imam Malik jika didatangi oleh sebagian ahli bid’ah, dia mengatakan:
"Adapun aku maka berada di atas kejelasan dari agamaku, adapun kamu maka
seorang yang masih ragu, pergilah kepada orang yang ragu sepertimu dan debatlah
dia!”
Ja’far bin Abdullah berkata: "Kami di sisi
Malik, tiba-tiba datang seseorang yang berkata: "Wahai Abu Abdillah, Alloh
bersemayam di atas ’Arsy, bagaimana istiwa itu?" Tidaklah Malik marah dari
sesuatu melebihi marahnya pada pertanyaan orang tersebut, dia melihat ke tanah
dan menohoknya dengan batang kayu yang ada di tangan-nya hingga bercucuran
keringatnya, kemudian dia mengangkat kepalanya dan membuang batang kayu
tersebut seraya mengatakan: "Kaifiyyat dari istiwa tidak diketa-hui,
istiwa bukanlah perkara yang majhul, iman kepada istiwa adalah wajib, dan
bertanya tentang kai-fiyyatnya adalah bid’ah, dan aku menduga kamu adalah
seorang ahli bid’ah. "Maka kemudian orang tersebut dikeluarkan dari
majelis.
E.
Cobaan
Beliau
Ibnu Jarir berkata: "Malik pernah dipukul
dengan cambuk." Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai Marwan
ath--Thathari bahwasanya Abu Ja’far al-Manshur melarang Malik dari menyampaikan
hadits: "Tidak ada thalaq bagi orang yang dipaksa", kemudian ada
orang yang menye-lundup di majelisnya menanyakan hadits tersebut hingga Malik
menyampaikannya di depan manusia, maka Abu Ja’far kemudian mencambuk
Malik."
Muhammad bin Umar berkata: "Sesudah
kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di mata manusia."
Adz-Dzahabi berkata: "Inilah buah dari
ujian yang terpuji, akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang
beriman."
F.
Tulisan-tulisan Beliau:
Di antara tulisan-tulisan beliau
adalah:al-Muwaththa’ -yang di-katakan oleh al-Imam asy-Syafi’i: Tidak ada kitab
dalam masalah ilmu yang yang lebih banyak benarnya dibandingkan dengan
Muwaththa’ Malik-, Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada Abdullah bin Wahb,
an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un dari Nafi’ dari
beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir, Risalah ila Laits
fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan yang lainnya.
KESIMPULAN
Imam Maliki adalah seorang ulama Madinah yang
dilahirkan di Madinah pada tahun 711-795 M, beliau berasal dari keluarga Arab
terhormat dan mempunyai kedudukan tinggi. Lalu beliau belajar pemikiran hukum Islam dan
juga belajar hadis Nabi kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi
(tabi’in), diantaranya : Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibnu Shihab al-Zuhri,
Muhammad bin Mukadir, Nafi’ bin Abi Nuaim, Abu Zinad, Dll. Hadits yang
diterimanya dituangkan dalam suatu karya monumental: al-Muwatha’. Kitab ini
memuat hadis-hadis Nabi sekaligus tradisi masyarakat Madinah.
Beliau
mengutamakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai sumber keutamaan hukum Islam serta
beberapa hukum lainnya sebagai pendamping seperti hadis, norma masyarakat,
ijma’, dll
Beliau
membuat karya-karya buku di antara
tulisan-tulisan beliau adalah: al-Muwaththa’ -yang di-katakan oleh al-Imam
asy-Syafi’i: Tidak ada kitab dalam masalah ilmu yang yang lebih banyak benarnya
dibandingkan dengan Muwaththa’ Malik-, Risalah fil Qadar yang dikirimkan kepada
Abdullah bin Wahb, an-Nujum wa Manazilul Qa-mar yang diriwayatkan oleh Sahn-un
dari Nafi’ dari beliau, Risalah fil Aqdhiyah, Juz dalam Tafsir, Kitabus Sir,
Risalah ila Laits fi ljma Ahlil Ma-dinah, dan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hukum Islam. Surabaya: IAIN SUNAN AMPEL
PRESS, 2011.
Shidiq,
Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011
K.H Mas Mansur, Perjuangan dan Pemikiran . Jakarta: 2006
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: 1987
Muhammad Ali. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: 2003
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta : 2001
[1] TIM
PENYUSUN MKD IAIN SA, Studi Hukum Islam, Surabaya: 2011
[2]
K.H Mas Mansur, Perjuangan dan Pemikiran (Jakarta)
[3] http://imanhsy.blogspot.com/2011/06/biografi-imam-malik-metode-istinbathnya.html
[4]
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung: 1987
[5]
Sapiudin shidiq. Ushul Fiqh. Jakarta: 2011
[6]
Muhammad Ali. Sejarah Fiqih Islam. Jakarta: 2003
[7]
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta : 2001
good
AntwoordVee uit